11.30.2011

AKHIRNYA, TANPA BREASTPUMP!

Akhirnya saya merasakan juga, seret pumping! Rasanya mau nangis degh, tapi kalo kata suami saya, nangis juga nggak berarti ASInya akan keluar. Marah juga ASInya nggak akan deres. Hufth, bingung jadinya harus gimana lagi. Akhirnya saya merasakan gimana rasanya sedih ASI susah keluar. Soalnya ada beberapa kerabat dekat yang bercerita kalo mereka susah pumping. Tapi kalo anaknya mimik langsung, lancar jaya. Wuzz wuzz...  Duh Gusti, mohon ampun kalo saya ada salah! Ini ASInya jangan dikurangin donk...

Hari ini rasanya sudah hopeless banget saya. Pumping pagi bangun tidur dapetnya 50ml dari biasanya yang sekitar 80ml. Terus saya pumping lagi sebelum berangkat kantor, dapetnya 20ml dari yang biasanya sekita 50ml. Ya Allah, saya nurunin 400ml buat Nares. Tapi ini baru dapet 70ml. Masih ngutang 330ml. Huaaa, banyak banget! Perjalanan masih panjang. Kalo tiap kali pumping dapetnya segitu, gimana bisa balance? Pasti bandar nombok neh? Kemaren aja udah nombok 1 botol.

(Walaupun di freezer masih penuh sama ASIP, tapi saya kan nggak mau lengah. Nggak boleh terlena dengan freezer yang penuh ASIP. Balance tiap hari itu target saya. Mungkin terlalu perfeksionis, tapi saya maunya gitu. Kalo tiap hari lengah, terlena, bisa-bisa dek Nares nggak kebagian ASI sampe 2 tahun. Saya kan maunya Nares bisa mimik ASI sampe 2 tahun)

Sessi pertama perah di kantor jam 11:30. Siap-siap cuci tangan, pasang breastpump dan perintilannya. Bismillah, semoga ASInya yang keluar banyak. Tapiii... ini horror banget neh! Udah 5 menit mesin breastpump nyala, tapi nggak setetes ASI yang turun di botol. Pasang breastpump udah bener, sama seperti biasa. Adoooh, ini kenapa segh? Okey, coba benerin perlekatannya. Tapi kok nggak mau juga ya? Putus asa degh rasanya *bersandar ke tembok ruang mompa. Yang ada di pikiran saya, “masa iya sih, saya pulang nggak bawa ASIP? Nares gimana? Ya Allah, jangan diambil ASInya dooonk. Nares masih butuh. Saya pun butuh, buat Nares.

Setelah dicoba lagi tapi tak berhasil, dengan tekad kuat sekuat baja komposit K-225, saya coba perah pake tangan. Bismillah aja. Pasti emang belepetan. Secara saya nggak jago marmet (teknik perah ASI pake tangan), tapi semangat membara buat dapetin ASIP. Semangkaaaaa....

Pelan pelan dan pelan. Setetes setetes dan setetes. Pegel pegel dan pegel. Hahaha! Tapi beneran pegel lho. Mungkin karena nggak biasa perah tangan selama ini kali ya, jadinya pegel. Kalo udah biasa sih, mungkin nggak. Mungkin lho, ya? Kan saya sendiri juga belum pernah coba lama-lama.

Nah, setelah 10 menit perah pake tangan, ini lah pendapatannya! Yahelaaah, kok pendapatan sih? Emang uang?

nyaris 50ml yah?

 Dan setelah 30 menit perah, ini lah yang saya dapatkan, sodara sodara!!!

This is it! 70ml

Taraaaa... hihihi 70ml lho booo! Ini sesuatu banget lho! Nggak nyangka saya. Bisa juga perah pake tangan. Walaupun tangan pegel-pegel, tapi rasanya terbayar degh dengan ASI yang banyak itu.

Tau nggak sih, apa yang ada di benak saya, selama saya perah pake tangan? Ini yang ada di benak saya:
  1. Jadi ibu itu susah juga ya? Ini buktinya, harus rela-rela pegel untuk ngeluarin ASI
  2. Jadi ibu itu penuh perjuangan ya? Ini buktinya, harus rela puter otak gimana caranya biar anaknya dapet ASI.
  3. Bener banget ya, setetes ASI itu mahal banget. Ya itu coba caranya diperjuangkan segimana mungkin supaya ASInya keluar.
  4. Pantesan aja ya, ibu ASI itu hebat. Perjuangan perah ASI itu ternyata nggak mudah, ada aja cobaannya.
  5. Ya Allah, masih bersyukur saya, masih bisa dikeluarin ASInya.

Hah, 30menit sudah perah pake tangan ini dan hasilnya juga cukup memuaskan saya. Saatnya kembali kerja di meja dan senyum sumringah karena dapet 70ml di sesi pertama ini. Perjalanan masih panjang. Tapi setidaknya saya tetap harus menyimpan semangat itu. Sewaktu-waktu saya butuh, bisa saya pergunakan lagi. Heheee...

Oia, ini ada link yang bisa dijadikan acuan untuk perah ASI pake tangan alias marmet. Mudah-mudahan berguna buat yang membaca. Kali aja suatu waktu membutuhkannya:

Semangat ASI!

Terima kasih ya Allah, hari ini ASInya bisa keluar. Besok jangan dikredit lagi ya, ASInya...

11.24.2011

BIRDIES

Iyh, nggak tau kenapa, saya kok (lagi) seneng banget ya, sama si gambar burung-burung itu. Lucu-lucu bentuknya. Unik. Sebenernya sih bentuk gambarnya simple-simple aja. Tapi dari kesederhanaannya itu, justru terdapat nilai artistik yang menarik. So that's why I change my blog header icon into those birdies picture! It's so cute birds.

See below pictures, see that the birds is really cute... Pengen punya kamar yang motif temboknya si birdie ini degh... *doeeeng!!!



lucu bangeeet...
cantiiik kan?

bird family...

wohoo, birdie dalam sangkar


cuteee cekalih...

Duuuh, jatuh hati sama birdie-birdie ini....

11.22.2011

CERITA MEDIS (baca : MENYEDIHKAN)

Yang namanya orang hidup, nggak lepas dari masalah kesehatan. Manusia kan juga terdiri dari beberapa perangkat tubuh yang bisa sesekali rusak dan mungkin harus diperbaiki. Manusia sama kaya mesin mobil, yang diciptakan untuk bekerja, tapi bisa juga punya masa pakai. Nggak bisa seumur hidup, lah! Mesin mobil bisa rusak, kan? Mesin potong rumput, juga bisa rusak. Semua mesin pasti bisa rusak. Kalo ada mesin di dunia ini yang tidak rusak, mungkin satu-satunya ya cuma mesin waktu si Doreamon! Kenapa mesin waktu si Doraemon nggak bisa rusak? Ya iyalah, orang itu si Doraemon hanya kisah fiktif kok! #eh ini kok mau cerita dokter jadi ke doraemon segala sih?

mesin waktu punya Doraemon
Baiklah, yuks mareh lanjooot...

Sooo, kalo kita (manusia) sakit, pengen sembuh, pergi ke dokter kan? Secara mereka yang belajar secara detail tentang ilmu pertubuhan manusia. Mereka yang tau pasti, apa penyakitnya, kenapa sakitnya, dan harus diapain biar sembuh! Iya nggak? Makanya, ada dokter umum dan dokter spesialis. Makanya juga ada Rumah Sakit. Buat yang sakit dan pengen sembuh (atau setidaknya kondisi fisik membaik), seharusnya pergi ke dokter atau Rumah Sakit.

Apa yang dilakukan saya, suami saya, ibu saya, dan bapak saya juga demikian. Ketika kita semua sakit, dan ada rasa ingin sembuh (karena sudah beberapa hari sakitnya tak kunjung hilang dan keadaan pun belum membaik), maka kami pergi ke dokter untuk berkonsultasi. Ujung-ujungnya ya karena kami mau sembuh dari penyakit tersebut dan ingin hidup sehat. Berharap dengan bertemu oleh ahli tubuh, kondisi badan ini semakin membaik.

Namun, apa yang saya dapatkan pengalaman ke dokter di Jakarta ini sepertinya agak berbeda. Entah salah saya yang bodoh, atau memang dokter yang pintar. Beberapa kali kejadian, kok diagnosa dokter di Indonesia sepertinya mengambang dan bahkan cenderung tidak mengetahuinya. Ya Allah, saya ini hanya orang awam yang bodoh, yang sama sekali tak mengerti dengan ilmu tubuh. Kalaupun dokter yang kami kunjungi ini sudah tidak dapat dipercaya lagi, kepada siapa kami harus berkonsultasi lagi? Wong sudah ke ahlinya, tak masih gak bener. Sooo, saya kudu kemana? Bingung saya *garuk-garuk kepala sambil nguap.

Okey, saya mau curhat! Mau curhat kenapa saya agak underestimate dengan dokter di Indonesia. Bukan tanpa sebab saya underestimate seperti ini. Bukan tanpa alasan saya kecewa dengan dokter di Indonesia yang telah saya kunjungi ini. Mungkin kalo sekali kejadiannya, saya masih maklum. Tapi ini udah berulang kali kejadiannya. Rasanya kali ini bener-bener sudah tak percaya.


Cerita 1 – Ibu diduga sakit jantung dan harus operasi jantung.

Kejadiannya mungkin sekitar 6 tahun lalu. Pada saat itu, ibu mengeluhkan bahwa kalau dirinya susah untuk bernafas. Sesak, begitu katanya. Setelah beberapa saat ibu saya mengeluhkan penyakitnya, akhirnya bapak membawa ibu berobat ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita (RS terbesar dan pusatnya Jantung di Indonesia). Konsultasi dengan dokter berakhir dengan rekomendasi bahwa ibu harus dioperasi agar nafasnya tidak sesak. Detail penyakit apa yang diderita ibu, saya sudah lupa. Tapi intinya, ibu direkomendasikan untuk dioperasi.

Seketika pulang dari RS, bapak berbincang dengan keluarga di rumah, dengan abang saya dan saya sendiri tentunya. Hal ini berkaitan dengan tindakan yang harus dijalani untuk kesehatan ibu. Pada saat itu, kami mengatur waktu untuk ditindak diminggu depannya. Karena untuk operasi, kita butuh persiapan, baik mental dan fisik. Mulai dari ancang-ancang piket untuk nemenin ibu di RS dan lain sebagainya. Rencana operasi pun akan dilakukan sesegera mungkin. Tugas bapak, adalah menyiapkan dananya. Hihihi, walaupun ibu pemegang kartu Askes, tapi sepertinya tidak semua biaya tindakan dapat ditanggung pihak Askes. Yah, tak apalah, masih bagus ditanggung Askes beberapa bagian. Daripada tidak sama sekali?

Setelah persiapan matang, dan kami pun sudah siap-siap, tiba-tiba si bapak membatalkan rencana tindakan operasi si Ibu. Kata Bapak, Ibu akan diperiksa di Singapore dulu. Ternyata sambil menunggu hari operasi, si bapak cerita ke temennya kalo Ibu akan dioperasi. Temen bapak bilang, coba bawa ke Singapore untuk di cross check. Mungkin bisa dapat second opinion yang hasilnya tidak perlu operasi. Sip lah, langsung bapak arrange jadwal ke Singapore. Untuk dokter spesialis jantung yang dituju juga sudah didapat (dari temen bapak tadi). Toh kalaupun memang harus operasi, ya mau tak mau memang harus dilakukan.

Sepulangnya dari Singapore, alhamdulillah... Bapak dan Ibu bawa kabar baik. Menurut dokter spesialis jantung di Singapore, ibu nggak perlu operasi. Nafas ibu suka sesak karena ibu terlalu gemuk alias overweight! Oh my... Alhamdulillah, senangnya ibu nggak perlu operasi. Tapi sebagai gantinya, ibu harus mengurangi berat badan, setidaknya 3kg perbulan.

Hmmm, rasanya pengen balik ke dokter jantung yang di Jakarta degh. Mau nanya, “Dok, ini kok Ibu saya bisa ya, nggak perlu operasi? Cuma suruh nurunin berat badan?” Tapi akh ya sudahlah. Mungkin rasa itu sudah tertutup dengan rasa bahagia saya bahwa Ibu nggak perlu operasi jantung. Kebayang kan, kalo jantung udah diobok-obok, berarti udah ada yang nggak utuh degh.


Cerita 2 – Bapak tersumbat pembuluh darahnya, tapi nggak ketauan apa penyebabnya.

Maret 2009, tiba-tiba betis sebelah kiri bapak bengkak. Keras. Dipegang sakit sekali, sampai bapak nggak bisa jalan. Untuk pertolongan pertama, kita panggil dokter umum yang praktek di komplek rumah. Tapi begitu beliau melihat kondisi bapak, beliau langsung merujuk ke RS. RS yang terdekat dari rumah kami adalah RS Medika Permata Hijau. Malam itu juga langsung di bawa ke RS. Karena malam hari tidak ada dokter spesialis, bapak akhirnya ditangani dokter jaga di UGD. Semalam bapak menginap di RS MPH, karena begitu besok paginya dokter spesialis penyakit dalam berkunjung, beliau langsung merujuk bapak ke RS yang lebih besar. Pilihannya adalah RS Pusat Pertamina dan RS Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Of course we decide the second one. Secara bapak punya Askes dan pensiunan tentara juga, akhirnya kita setuju untuk bapak dirujuk ke RSPAD. Langsung meluncur dengan ambulans, begitu administrasi dan segala urusan di RS MPH selesai.

Sampe di RSPAD bapak singgah dulu di UGD. Yah, maklum lah, RS pemerintah dan bapak saya pensiunan pulak. Makanya pelayanan juga berada di third line. Bukan lagi second line, tapi udah third! Nggak heran makanya, pas si dokter nyuruh saya nebus obat pain killer untuk bapak di farmasi Askes, saya disuruh nunggu sekitar 3 jam. Gosh! Itu bapak udah sakit meringis, masih disuruh nunggu? 3 jam? Hell banget dah nih Askes! Belum kali ya, dia ngerasain kalo kerabatnya yang sakit dan diperlakukan begitu, apa rasanya? Akhirnya kuputuskan untuk tebus obat pain killer di apotik swasta. Mahal! Tak apa, yang penting bapak nggak ngerasa sakit.

Setelah observasi kamar, akhirnya diputuskan kembali, untuk tidak menggunakan pelayanan Askes. Why? It’s because itu kamar yang jatahnya Bapak, nggak banget! Kamar kecil, pintu toilet bergagang tali rapia, jamur di dinding. Iyh, bagus aja bukan saya yang liat, tapi ibu dan abang saya yang observasi kamar. Sementara waktu itu saya nungguin bapak. Secara di RSPAD juga ada RS swasta-nya (Paviliun Dharmawan), makanya bapak masuk di situ aja. Oia, disini yang namanya Askes nggak laku! Kata orang administrasinya, “Kalau mau pake Askes ya di RSPAD. Kalau di Paviliun Dharmawan, ya nggak Askes!” Yah sudahlah, nggak pake Askes! Daripada malah makin sakit di kamar busuk, mending keluar uang sedikit biar cepet sembuh. Insyaallah ada kok rejekinya buat bapak berobat. Kita emang nggak kaya raya, tapi untuk sehat, insyaallah diusahakan.

Setelah dirujuk ke dokter jantung dan observasi 3 hari lamanya, bapak ternyata mengalami penyumbatan pembuluh darah. Cuma karena kondisinya udah agak parah, mau nggak mau bapak harus dioperasi itu betisnya yang bengkak, untuk ngeluarin darah yang nggak muter tadi. Tadinya si pak dokter sudah mengusahakan untuk mengencerkan darah dengan obat suntikan, tapi kayanya nggak mempan. Makanya bapak harus dioperasi untuk mengeluarkan darah yang sudah mengental di betisnya. Setelah operasi selesai, betis bapak kembali ke ukuran semula. Kempes memang. Tapi jadinya agak keriput dan hitam. Keriput mungkin karena tadinya bengkak, dan sekarang kempes. Nah kalo hitam itu nggak tau kenapa (lupa pas dijelasin dokter).

Saatnya bapak diijinkan pulang oleh dokter. Tapi sayangnya penyebab pembuluh darah yang menyempit itu nggak ketahuan sama pak dokter (notes: dokternya ganteng lho, tinggi besar! Tentara gituuu). Soalnya, pak dokter bilang, biasanya kejadian ini menimpa sama orang yang suka refleksi, massage (pijat), terkilir, angkat beban berat. Tapi dari kegiatan yang disebutin sama pak dokter, bapak nggak semuanya melakukan. So, penyebab is undetected!

Beberapa bulan ke depan, bapak berangkat ke Singapore (kembali), untuk nemenin ibu yang harus rutin control ke dokter Phillip di Mount Elizabeth Hospital. Untuk kali ini, rencananya bapak pun mau sekalian periksa mengenai penyakit bapak. Walaupun sudah lewat, tapi tak ada salahnya untuk mengetahui apa penyebabnya (secara di Jakarta kan nggak ketauan penyebabnya apa). Dokter untuk bapak pun di rekomendasi dari dokter jantung ibu. Okey, di sana bapak disuruh ambil cairan tulang sumsumnya. Dan besokan harinya, barulah ketahuan, kenapa pembuluh darah bapak bisa tersumbat. Lega rasanya teka teki selama ini yang belum terjawab. Dalam waktu yang singkat dan proses yang tidak bertele-tele, akhirnya penyebabnya ketahuan juga.

Hmmm, kenapa ya, dokter di Jakarta nggak bisa nemuin penyebabnya? Duh, kok lagi-lagi dikecewakan ya, sama pelayanan medis di Jakarta. Rasanya mau teriak degh! Tapi kok ya teriak juga nggak ngaruh, secara konsumen pasti di nomor belakangin. Cuma bisa nerima...


Cerita 3 – Suamiku yang berulang kali sakit paru

Lagi-lagi nggak puas sama pelayanan medis (baca: dokter) di Jakarta. Kali ini kejadian menimpa suami saya sendiri. Berulang kali dirinya tertimpa sakit paru. Batuk darah. Sudah diobatin, tapi sakit lagi. Diobatin lagi, sakit lagi. Apa yang salah siyh, sebenernya? Padahal ya, suami saya itu type orang yang sangat disiplin. Tidak lalai minum obat, melakukan pola hidup orang sehat, dan selalu menjauhi pantangan dari dokter. Tapi kenapa siyh ya, kok bisa kejadian lagi? Belum setahun sembuh, tapi terjadi lagi dan lagi. Dan dokter yang kami kunjungi pun rasanya sudah tidak salah, karena kami berobat ke RS Paru terbesar di Indonesia yang berada di daerah Rawamangun, RS Umum Persahabatan.

Sungguh, saya merasa berada di bawah, rasanya udah sedih melulu! Kejadian ini menimpa saya ketika kami baru nikah. Dan saat itu saya lagi hamil. Rasanya dunia mau runtuh! Orang yang saya sayangi harus jatuh sakit. Tempat saya berbagi, tempat saya bersandar, tempat segalanya buat saya, dan masa depan saya, sakit! Saya yakin, siapapun yang tertimpa kondisi seperti saya, bisa menangis. Saya pun menangis sih, cuma ya nggak ketauan aja kan? Heheee...

Namun walau bagaimana juga, life must goes on. Hidup harus berjalan dan dihadapin. Bismillah sajalah. Sementara itu, pengobatan untuk suami harus tetap berjalan. Apapun yang dianjurkan dokter, kita laksanakan. Sambil berharap terus ke Allah untuk segalanya yang terbaik.

Hingga di satu saat, saya dan suami merencakan untuk cross check ke dokter spesialis paru di Singapore. Yaaa, memang sih, ide ini berangkat dari pengalaman bapak dan ibu saya yang berobat di Jakarta, tapi ada yang kurang. Bismillah, kita berangkat ke Singapore, dengan sebelumnya cari tau dokter yang cocok dengan penyakit yang di derita suami. Dapatlah kami dokternya melalui situs Respiratory Spesialist. Kami baca semua dokter yang ada disitu dan tertujulah ke satu dokter cantik mungil.  Dari Jakarta, kita sudah email-email dengan beliau. Beliau menanyakan sejarah penyakit, obat apa yang pernah dikasih, bagaimana hasil darah, dan sebagainya. Hingga pada tanggal yang ditentukan, kami berangkat ke Singapore.

Sesampainya disana, suami saya diperiksa, hasil lab dibaca, hasil x-ray pun dibaca, dan semua jenis obat pun dianalisa. Dari analisa dokter, akhirnya diketahui karena sebelumnya dokter di Jakarta pernah kurang memberikan dosis obat dan ada satu obat yang seharusnya tak perlu diberikan kepada suami saya! Mungkin karena itu, si kuman nggak mati dan malah jadinya kebal sama obat. Hadooooh Tuhaaan, mengapa oh mengapa ini terjadi? Bagaimana bisa dosis bisa kurang? Bagaimana bisa obat yang seharusnya gak diberikan tapi malah diberikan? Mau marah, tapi udah nggak sanggup marah. Akhirnya saya hanya bisa memendam kekecewaan. Percuma juga mau dilawan itu dokter di Jakarta. Mau nuntut? Bakalan wasting time, wasting energy! Trust me, it doesn’t work!  

Tapi dokter di Singapore cukup menguatkan hati ini, dia bilang “I won’t argue with the past one. Let’s see to the next step”. Yang sudah ya sudah lah ya, mendingan kita pikirin yang sekarang dan ke depan. Hmmm... *take a deep breath


Pemirsaaaah...

Saya yakin, kejadian ini nggak hanya menimpa terhadap bapak, ibu dan suami saya. Mungkin ini hanya sebagian kecil cerita yang bisa diangkat. Masih bersyukur, Tuhan kasih jalan kepada keluarga kami untuk melakukan cross check kondisi kesehatan di negeri seberang. Tapi apa nasib bagi warga yang tidak punya kesempatan untuk pergi keluar Indonesia? Apalagi nasib warga yang pake Jaminan Kesehatan rakyat miskin? Nggak kebayang ya, sob. Mungkin kalo saya sakit dan harus berurusan sama pelayanan kesehatan di Indonesia, bisa jadi langsung naek darah. Nggak tahan, nggak sanggup. Makanya, pinta saya kepada Allah, supaya selalu diberikan kesehatan kepada keluarga saya. Supaya kami tidak perlu berurusan dengan tenaga medis serta pelayan kesehatan di Indonesia ini.

Ngga heran juga, kalo di Singapore penuh dengan orang Indonesia yang berobat. Yakin saya, karena mereka semua nggak puas dengan pelayanan kesehatan di Indonesia.

kuciwa berat
*take a deep breath for many times...  and hoping so much that all of the readers here are never get sick.


11.14.2011

HITAM - KUNING - HIJAU

Duuuh, kenapa ya, kalo udah urusan masak, pasti ujungnya males. Nggak banget degh saya. Suka nyerah kalo udah disuruh masak. Palingan bisa juga masak mie instant, pake telur, sama pake sawi. Enyaaak, kata suami saya. Hahahaaa...  parah bener ini Mona!

Nah, kan seperti udah cerita-cerita sebelumnya, saya tuh di rumah kalo untuk makanan sehari-hari, pake catering. Saya nggak mau masak sendiri. Bukan apa, repot bin rempong pastinya. Puufff... belanja, bersihin sayuran, masak, beresin peralatan, belum lagi mikir menu. Waddezigggh.. Rasanya mending disuruh bikin maket, daripada masak. Hadeeeh! Baiklah, untuk Senin-Jumat saya nggak perlu repot mikir makan apa. Makanan pasti tersedia di meja makan. Siap santap. Ga pake ribet (kalo kata McDonald's). Tapi jadwal catering cuma Senin-Jumat. Ya kalo sering-sering ya bisa bosen juga kali ya.

Lah, terus nasib Sabtu sama Minggu gimana? Yah, kalo lagi mood bagus ya masak. Kalo lagi mood jelek, ya beli (ini seringnya nih). Nah, kalo lagi beruntung, pasti ada yang nganterin makanan ke rumah. Uhuuuy! Selameeet yeee...

Nah, kejadian di hari Minggu kemarin ini. Pusing degh, mau makan apa buat malemnya. Secara siang saya dan suami belanja di salah satu swalayan besar, dan kami makan siang di restoran yang ada di pusat perbelanjaan tersebut. Huaaa, horror! Masak buat makan malem apa ya? Bingung emang kalo disuruh masak. Secara bahan makanan ada banyak banget. Makan ini bosen, makan itu nggak enak. Mateeek lah! Akhirnya saya request aja sama si bapak,"Pak, ntar malem delivery yah?" Ternyata si bapak nggak setuju, "Masak donk bu, masa' beli mulu?" Hmmm, serasa ditampar neh saya. Disuruh masak. Hmmm....

Ya udah, karena saat itu pembicaraan masih terjadi di swalayan, akhirnya saya memilih sayur yang ada untuk dimasak. Yang gampang masaknya aja degh : Baby Kailan. Seeep! Bungkus. Secara di rumah ada daging sapi, kata si bapak, "bikin steak aja ya bu?" Waaah, lumayan si bapak kasih ide. Iya nih, kemaren daging qurban masih nyisa dikit belum diolah. Baiklaaah.

Jam 6 persiapan masak. Siapin bumbu, rendem daging ke bumbu barbeque, dan bersihin sayuran. Kebetulan banget Nares maen sama bapaknya, jadi saya bisa konsentrasi di dapur. Abis siap-siap tahap 1, saya sholat maghrib dulu. Secara udah masuk waktu maghrib. Biar tenang gitu, masaknya. Hadeeeh... sok iye-iye banget saya masak geneh! But show must go on. Ini suami mau makan apa kalo saya nggak masak. Hihihi....

Jam 7, abis nyusuin Nares, mulai lah saya masuk ke dapur untuk melanjutkan sesi perapian. Pertama, beresin dulu urusan steak. Kedua, beresin telur dadar. Emaaak, masak telur dadar ini kudu pake bawang goreng, sesuai dengan kesukaan si Bapak. Dan ketiga, jadilah itu si tumis baby kailan. Selesaaaiii... Kira-kira 45 menit masak di dapur. Yihaaa... Ini dia penampakannya si tiga serangkai:






Jam 7.50, panggil si Bapak untuk makan malam.

Jam 8.00, kita makan malem neh. Nares juga ikutan duduk di ruang makan. Duduk di high chair, tapi cuma mainan aja. Secara Nares udah nggak boleh makan diatas jam 6.

Jam 8.15, makan malam selesai. Alhamdulillah ya... si Bapak makannya mau. Hihih, katanya lumayan kok, buat pemula seperti sayah! Yahaaa, horeee, seneng banget si bapak ngomong gitu. Rasanya nggak sia-sia perjuangan saya. Eh, tapi ya kok ngabisinnya cuma 15 menit ya? Padahal itu masaknya aja udah 45 menit. Ngabisinnya sekejap sajah. Hoalaaah....

Yah lumayan lah, setidaknya NGGAK JAJAN MELULU... Hihihi...

11.10.2011

OBE

Sebelum pulang kantor, gatel pengen curhat kelakuan si mas OB di kantor saya...

Nyebelin banget ya, si mas OB ini agak punya kelakuan tak wajar seperti OB lain pada umumnya yang manut sama perintah para staff. Rasanya pegel hati kalo minta tolong dia untuk melakukan sesuatu pekerjaan. Entah itu beli makanan, bikin teh atau kopi, atau pekerjaan lainnya. Kalau kita minta tolong A, suka dikasih B. Minta tolong B, suka dikasih A. Kalo dimintain tolong, suka merengut. Hiiih, padahal kan itu tugasnya dia tho? Susah ya boook, tapi mau gimana lagi. Lha wong Direktur saya juga suka dicuekin, dibete-in sama dia. Apalagi saya yang cuma staff ecek-ecek ini?


Puncak kekesalan saya terjadi di hari Selasa ini, 8 November 2011.


ngamuk sayah
Biasanya, saya membawa bekal makan siang saya ke kantor (soalnya di rumah masih banyak makanan, jadi sayang kalo nggak dimakan). Tapi hari itu karena lauk semalem udah nggak nyisa, akhirnya saya nggak bawa makan siang. Selasa siang itu, kebetulan ada meeting kecil dengan calon investor di kantor saya. Meeting berakhir pukul 12.15, which is itu udah jam makan siang donk, yaaa... (Asal tau ya, si OB ini nggak pernah nawarin makan sebelum pukul 12 siang. Dia pasti nawarin makan paling cepet jam 12. Itu pun kalo disuruh jalan. Kalo nggak ada yang nyuruh, ya dia tidur degh tuh di pantry) Karena waktu sudah menunjukkan pukul 12. 15, dan saya harus pumping ASI, saya memilih untuk sholat dan pumping ASI dulu. Maksud saya, saya mau pesan makanan sebelum saya sholat dan pumping, supaya ketika saya selesai pumping, itu makan siang sudah tersedia di meja saya. Duuuh, soalnya perut saya udah keroncongan yang agak nge-jazz gitu. Takut cacing pada demo...

Okey, sebelum wudhu, saya cari si mas ke Pantry. Ternyata dia nggak ada di pantry. Wah, saya wudhu dulu degh. Bener aja, saya ketemu dia di lorong toilet. Dan terjadi pembicaraan antara dia (D) dan saya (S) :
S: "Mas, tolong beliin saya makan siang donk, udah laper nih"
D: "Ntar ya mba, ntar..." jawab si mas OB sambil langsung jalan meninggalkan saya!

Hmmm, bagus banget kelakuan ini orang. Good job! Sopan ya boook?! Ya sudah, saya sholat dulu degh, pumping dulu sambil nurunin emosi karena dicuekin OB dan menahan perut lapar.

Selesai pumping, kira-kira jam 12.30, saya kembali ke ruangan. Tak lama dirinya menanyakan kepada saya makanan yang mau dipesan.


S: "Mas, tolong beliin soto Madura di deket Istiqlal sana donk. Nasi 1 dan soto 1 ya?"
D: "Soto depan stasiun kan? Cak Sikin?"
S: "Bukan, mas... Ini yang di jalan Pintu Air" 
D: "Iyh, jauh amat? Sini aja degh yang deketan" sambil dia nunjuk ke arah stasiun Juanda, padahal jarak kantor saya ke Jalan Pintu Air itu cuma sekitar 700meter.
S: "Nggak mau, pengen yang di Pintu Air itu. Yang depan stasiun nggak enak"
D: "Yaudah deh, yang di stasiun aja tuh, Adeng" 
et dah nih orang masih maksa juga kali? *makin panas
S: "Udeh degh ya, beli yang di Jalan Pintu Air aja. Gw nggak mau yang lain. Cuma pengen yang sana"


Dan akhirnya si mas OB pergi juga setelah saya memberikan uang beli soto.

Hoadaaaaah, ni orang maunya apa ya? Pliss degh Tuhan, kok ada ya, OB model begini? Kesel bener rasanya. Ini yang mau makan siapa, yang milih menu siapa, kok jadi dia yang nentuin. Aseli degh, baru nemu model OB yang begini. Bagus aja saya bukan orang Facility Management seperti dulu, dimana saya bisa ganti orang kalo dia nggak bisa kerja. Tapi kali ini saya harus bersabar punya OB seperti dirinya.

Sabar sabar sabar...


11.08.2011

IDUL ADHA dan VIRUS ROSEOLA

Rabu, 2 November kemaren Nares sakit panas. Nggak tanggung-tanggung, panasnya diukur pake thermometer sampe 39°C. Duuuh, sedih banget rasanya anak saya sampe demam setinggi itu. Nares nggak mau kalo nggak digendong. Maunya gendong terus. Tapi diajak main dan becanda masih mau. Tapi jangan harap mau ditinggal sendiri. Pasti langsung mewek. Yaaa, namanya juga bayi lagi sakit, pasti mau-nya ‘ngalem’. Tak apalah, saatnya saya memanjakan dirinya. Saya peluk Nares dengan metode skin to skin. Cara ini memang ampuh untuk menurunkan panas anak kita. Lumayan, waktu itu diajarin suster di RS Harapan Kita, sesaat setelah Nares lahir. Kata bu suster, kalo anak sakit panas, nggak perlu obat-obatan. Cukup peluk saja, tanpa baju antara ibu dan anak. Dahsyat! Tuhan begitu sempurna menciptakan kondisi bonding antara ibu dan anak. Setelah 1 jam kami berpelukan di kamar, panasnya agak menurun, menjadi 38.4°C. Lumayan lah menurutku. Mungkin memang karena transfer panas tubuh, akhirnya saya yang berkeringat.

Malam itu Nares lumayan bisa bobo. Seperti biasanya, Nares mau bobo di box-nya. Nggak ada masalah, tapi memang yang agak berbeda, Nares minta mimik jam 1, jam 3 dan jam 5. Padahal sih biasanya Cuma jam 3 dan jam 5. Tapi kalo udah kenyang mimik, ya udah... Dia bobok lagi.

Kamis, 3 November , di pagi hari suhu badan Nares 37.4°C dan Nares pun juga aktif seperti biasa. Maen, ngoceh, makan juga mau (walaupun pake sedikit berantem). Saya memutuskan untuk berangkat kerja setelah diijinkan pak boss daddy. Tapi dari kantor, bolak balik telpon ke rumah untuk tanya kondisi Nares. Dan berita yang saya dapatkan memang panas badannya naek turun. Tapi masih berkisar 37°C- 39°C. Tapi berita yang saya dapatkan, adalah Nares mau makan dan mimik ASIP. Cuma memang ASIPnya nggak mau pake dot, tapi disendokin. Tak apalah, yang penting ada yang masuk.

Agak deg-degan sebenernya nares sakit kali ini. Soalnya udah 2 hari, tapi kok masih naek turun panasnya. Kemaren memang sempet panas waktu Nares umur 6bulan kurang 1minggu. Tapi itu hanya 1hari saja. Kali ini kok dampe 2 hari ya? Mana ini bapaknya Nares ada tugas keluar kota pulak. Lengkaplah saya. Anak sakit, suami tak di rumah juga *narik napas dalem-dalem keluarin lewat bawah. Huh, rasanya mau nangis saja sayah, tak mampuuu... Huhuuu, Tuhan tolong saya, kuatkan saya, sembuhkan Nares, angkat penyakitnya...

Kecurigaan sumber panas dari gigi bagian atas yang mau tumbuh. Emang kalo diliat, itu gusi bagian atas udah pada gendut-gendut banget. Kalo kata nekwannya Nares, “gusinya udah bunting!” Dipikir kucing kali ya itu si gusi, kok jadi bunting? Oia, menurut temen saya yang dokter gigi, bayi itu kalo tumbuh gigi kebanyakan demam karena jaringan gusinya robek, si gigi menembus jaringan gusi. Makanya jadi demam. Tapi itu sih memang proses alamiah yang tak perlu dikhawatirkan.

Kamis sore si mba’nya sms saya: “Bu, Nares panasnya 40°C. Barusan diukur.” Jdaaarrr... kok bisa naek turun begini siyh? Kok nggak yakin karena gigi ya? Saat itu saya memutuskan untuk pulang cepat. Secara bapaknya nggak ada, Nares panas, dan saya ke kantor bawa mobil sendiri. Kalo pulangnya tepat jam 5, saya pasti kebagian macet. Makanya ijin untuk pulang cepat. Daripada kejebak macet, mendingan pulang lebih awal. Di perjalanan pulang, ada sms masuk dari si mba’ “Panasnya 39°C. Masih di kompres” Akh, syukurlah panasnya turun. Tapi deg-degan dan khawatir masih jadi satu di dalam kepala ini.
Sampe rumah, saya minta ukur lagi panasnya. Dan hasilnya adalah 40.2°C. Kuputskan untuk bbm bapak dan tanya, apakah boleh bawa ke dokter. Bapak bilang, “Iya boleh bawa ke dokter. Tapi kalo dikasih obat, jangan dulu ya”. Baiklah pak... Saya akan bawa Nares untuk memastikan bahwa Nares tidak kenapa-kenapa.

Kebetulan di deket komplek saya ada Dokter Spesialis Anak yang notabene sudah senior. Berangkatlah saya, Nares dan si mba Ela ke dokter depan komplek. Sesampainya disana, ada 1 pasien yang sedang didalam.  Tak ada antrian, makanya begitu pasien yang di dalem keluar, kita langsung masuk. 

Beginilah percakapan yang terjadi antara DSA (D) dan saya (S)...
D: “Ayo masuk, timbang dulu ya...”
S: “Iya, Dok.”
Timbangan menunjukkan angka 8, means 8kg.
D: “8kg ya... Jadi kenapa anaknya? Ayo taro di tempat tidur sini”
S: “Panas Dok, udah 2 hari. Tapi sore ini panasnya makin tinggi. Tadi diukur, suhunya 40°C
D: “Sebentar ya, periksa dulu...”

Sambil menunggu pak dokter periksa, sambil nenangin neng Nares yang teriak-teriak karena harus tiduran. Sepertinya emang posisi tiduran saat ini buat neng Nares nggak nyaman banget. Saya lihat pak dokter lagi pencet-pencet perut Nares, sambil nyetetoskopin (aiyh, susah bener spellingnya) badan Nares, dan akhirnya kuping Nares dipencet. Saat dipencet kupingnya, Nares makin kenceng nangisnya. Ngeeeeeng, duh, dulu saya kaya gini kali ya? Hahaha....

D: “Ini pilek niyh, bu... Dah, ntar kasih obat ya, biar cepet sembuh”
Sret sret sret, pak dokter nulis resep di kertas putihnya.
D: “Ini saya kasih antibiotik ya, sama obat nyembuhin batuk pileknya”
S: “Ooo, pilek ya dok? Kok nggak kedengeran srat srotnya ya Dok? “
D: “Iya, karena bayi tidurnya masih telentang”
Hmmm, padahal Nares suka tidur miring dan telungkup juga lho...
S: “Jadi obatnya antibiotik sama puyer ini ya Dok? Harus minum antibiotik kah, Dok?”
Soalnya kan yang saya baca di buku pintar, kalo batuk pilek itu bisa sembuh sendiri dan nggak perlu obat.
D: ”Oiya, harus pake antibiotik, biar cepet sembuh. Kalo nggak pake antibiotik, takutnya kupingnya nanti conge’an. Dah, minumin obatnya ya, besok juga sembuh kok!”
S: “Ooo, baiklah dok. Terima kasih”

Langsung angkat badan dan menyelesaikan administrasi dengan pak Dokter. Pulang.

Masih di jalan, langsung laporan singkat ke pak boss daddy melaui bebe-em. Intinya sih, pak boss daddy tidak mengijinkan saya untuk memberikan antibiotik dan puyer ke Nares. Kalo cuma batuk pilek atau ISPA, nggak perlu antibiotik. Cuma pesannya pak boss daddy, beli obat penurun panas saja di apotik RS depan rumah. Hahaaa maklum, karena Nares jarang banget panas (baru sekali-kalinya), akhirnya di rumah ngga ada obat apapun buat Nares. Yang dulu itu juga panasnya turun setelah skin to skin contact. Minta tolong si mba’ Ela untuk beli obat penurus panas di RS depan rumah. Abis itu langsung degh, kasih ke Nares.

Panasnya turun kira-kira setelah 2 jam obat penurun panas dikasih ke Nares. Jam 10 malam, suhu tubuh nares sekitar 38°C. Tapi Nares nggak mau bobo ditaro di kasur. Maunya bobo gendong. Jadilah saya tidur sambil duduk. Yaaa, gitu degh memang. Buat anak, apapun rela dilakukan. Yang penting anaknya sembuh. Lucu juga si neng Nares ini. Walaupun sakit begitu, tapi masih tetap aktif. Masih bisa ketawa kalo diajak bercanda. Masih mau maen juga. Pegang ini pegang itu...

Jumat, 4 November, sekitar pukul 1 dini hari saya masih meluk Nares supaya dia bisa bobo. Mencoba untuk membrikan obat penurus panas kembali pada Nares, soalnya interval obat parasetamol sesuai petunjuk di kotaknya adalah 3-4kali sehari. Berarti 6-8jam boleh diberikan kembali. Kalo tadi ngasihnya sekitar jam 7malam, berati jam 1 dini hari kembali diberikan. Tapi sayangnya pas Nares dikasih obat penurun panas ini, Nares malah muntah. Kaya kesedak gitu. Sedih banget ngeliatnya... Nggak tega deh. Akhirnya nggak tega juga masukin obat penurun panas lagi. Setelah muntah, saya tepuk-tepuk punggung Nares. Saya peluk, saya susuin. Akhirnya Nares pun tertidur. Untuk kali ini, Nares mau tidur di kasur. Tau aja degh, kalo ibunya nahan pipis dari tadi, hihihi... Mungkin Nares ngasih kesempatan buat saya untuk pipis.

Sekembalinya saya dari toilet, saya pun ikutan tidur di samping Nares dan terjaga pukul 5.30 pagi. Sementara saya sholat subuh dahulu dan setelah itu kembali menyusui Nares. Kembali saya ukur suhu tubuhnya dan mendapatkan suhu 38°C. Yah, alhamdulillah sudah turun. Lega rasanya. Saya memutuskan untuk tidak berangkat ke kantor. Nggak mungkin ninggalin Nares yang dalam keadaan seperti itu. Terlalu berat.

Sekitar pukul 9 pagi, saya ukur kembali suhunya dan dari thermometer menunjukkan angka 39°C. Duuuh, kok naik turun gini ya? Coba saya kembali kasih parasetamol saja lah. Toh juga Nares baru selesai makan paginya (oia, Nares masih tetap mau makan dan minum lho, walaupun badan panas begitu). Tapi kembali lagi, Nares reject parasetamol tadi. Obat yang masuk, langsung dimuntahkannya kembali. Saya berfikir, ada apa dengan obat ini? Apakah rasanya keras? Coba sini saya icip dulu degh, mungkin memang rasanya menyengat? Hmmm, setelah mencoba, mungkin Nares memang reject karena obatnya agak berasa. Manis dan sedikit tajam (nyikrak gitu). Baiklah kalau begitu, saya coba campur dengan air putih. Alhamdulillah, obatnya bisa diterima Nares begitu dicampur air putih. Pelan dan pasti, obat penurun panas bisa masuk ke Nares tanpa muntah.

Sekitar jam 12 siang, suhu badannya sudah mendingan, sekitar 37°C. Aku pun sudah mulai agak tenang dan terus berdoa bahwa ini memang proses turunnya suhu badan Nares. Suhu badan tidak bisa turun drastis dan memang butuh waktu. Sekitar pukul 3 sore, saya ukur badannya kembali dan menemukan suhu di thermometer adalah 36.8°C. Waaah, mudah-mudahan ini memang pertanda baik. Nares sembuh! Itu dalam benakku. Namun sekitar pukul 4 sore, kembali aku minumkan obat penurun panas, dengan logika supaya badannya tidak panas lagi. Kalau malam ini badan Nares tidak panas, maka aku akan stop konsumsi obat penurun panasnya. Dan terbukti, malam hari di Jumat, Nares sudah tidak panas. Nares pun sudah bisa tidur di box-nya kembali. Syukurlah. Wohooo, bersyukur part 2 adalah karena suami saya sudah pulang dari tugas kantornya...

Sabtu, 5 November, pagi nya Nares sudah ceria seperti biasa. Makan, maen (apalagi ada bapaknya), berceloteh. Semuanya seperti biasa. Aku dan suami pun menganggap Nares sudah sembuh.

Malam minggunya, saya menemukan bercak –bercak merah di pipi Nares. Dekat kuping sisi kiri-nya Nares. Bercaknya berukuran sekitar diameter 1.5cm. Langsung saya periksa badannya Nares. Ternyata ada bercak-bercak tipis juga di bagian perut Nares. Kecurigaan saya : Roseola! Langsung degh lapor suami begitu curiga Roseola. Saya ubek buku “Smart Parents for Healthy Children” karangan dr. Purnamawati. Di dalam buku itu sebenernya banyak panduan-panduan untuk menangani anak infant dan toddler yang sakit. Recommended banget degh ni buku buat orang tua yang punya bayi.

Setelah ubek-ubek tentang Roseola di buku ini, saya semakin yakin Nares terkena Roseola. Soalnya ciri-cirinya begini:
·         Panas tinggi selama 3 hari (bisa sampe 5 hari)
·         Disertai batuk pilek selama demam
·         Anaknya masih mau makan dan tetap aktif walaupun rewel
·         Ruam merah muncul setelah panas reda

Yak, itu poin yang terakhir banget, yang membuat saya yakin kalo Nares kena roseola. Nggak puas sama informasi yang ada di buku, saya browsing dengan keyword : roseola. Naaah, semakin yakin kalo Nares kena roseola. Masih nggak puas, saya tanya sepupu saya yang anaknya yang pernah kena virus roseola. Kesimpulannya, dari informasi sana sini situ, Nares kena virus roseola. Ya ampuuun, untung aja kemaren nggak diminumin itu obat pilek dari dokter ya? Duuuh, coba kalo diminumin ternyata bukan pilek? Lagian kan pilek juga nggak perlu obat. Ntar sembuh sendiri. So, pak dokter, gimana ini?

Nah, si penyakit Roseola ini ternyata memang nggak ada obatnya. Nanti dia hilang sendiri merah-merahnya. Penanganannya:
·         Baby harus tetap makan dan minum, jangan sampai dehidrasi.
·         Boleh direndam di air hangat, suam-suam kuku.
·         Nggak perlu obat. Parasetamol boleh dikasih kalo anaknya demam.

Duuuh, duuuh, kena juga Nares dengan virus Roseola. Saya inget banget ini penyakit, karena teman saya, Nuning, anaknya pun pernah ngalamin. Makanya inget penyakit ini. Belum lama, Ani, sepupuan saya, juga anaknya ngalamin ini. Ya, tenang lah kalau begitu. Secara kalo kata di buku, ini penyakit yang biasa terjangkit sama anak yang umurnya 6-36bulan.

Intuisi detektif saya langsung jalan. Pertanyaan di benak kepala saya : Nares kena dari mana ya? Secara Nares hampir tidak pernah contact sama bayi-bayi seumuran dia. Akh, tarik-tarik ingatan saya... Baru inget kalo Nares ada contact pas ikutan Pekan Imunisasi Nasional tanggal 27 Oktober ini. Pasti dari situ degh ya. Secara waktu itu ada anak kecil yang memang sedang uhuk-uhuk, batuk. Yah, tapi ya sudahlah. Sudah terkena ini, tinggal bagaimana penanganannya saja.

Menurut di sumber berita (browsing google), virus roseola ini mempunyai masa inkubasi 5-15 hari dari pertama hari terjangkit. Dan penyakit ini berlangsung sekitar 1 minggu.


Minggu, 6 November, saatnya berhari raya. Idul Adha gitu lho... Alhamdulillaaah, saatnya makan-makan di tempat kakung, tempat nekwan, dan tempat nenek. Apalagi kemaren tanggal 5, eyang kakung ulang tahun. Jadinya kita sedikit mau merayakan hari ulang tahun si eyang kakung. Yippie, makan birthday, cake. Lho, kok ini malah jadi emaknya yang girang? Padahal anaknya lagi sakit. Heheee, tapi kalo kata temen yang udah pengalaman, roseola kan sembuh sendiri dan nggak ada obatnya. Jadi ya mau diapain lagi, kan? Yang penting Nares mau makan, banyak dimimiin ajah..




Coba liat itu bintik-bintik merah dimukanya Nares


Tapi coba liat, walaupun lagi bintik-bintik merah, Nares tetap ceria lho. Ini coba, maen becanda sama bapak, padahal muka badan merah-merah...


Maen sama bapak

Besok itu Kamis, berarti seminggu lalu Nares mulai sakit. Hari ini merah-merah sudah pudar, semoga besok merah-merah bersih sama sekali dan Nares kembali ceria. Semangaaaaat....


Sumber berita ngambil dari mana-mana, ya...

11.03.2011

NARES' MOM IS ON DA KITCHEN...

Yuhuuu... yu’ lah mari berbagi cerita bagaimana saya bertunggang langgang menyiapkan makanan Nares di setiap harinya. It’s a bit of horror for some mommy, but it’s fun for me... Witiwiwww, kenapa fun? Soalnya saya sendiri jarang masak untuk makanan orang dewasa. Untuk makan orang dewasa saya pilih catering-an sajah.

Yak, saya emang milih catering-an daripada masak sendiri. Alesannya adalah sebagai berikut : (1) Nggak repot dan pusing mau masak apa hari ini. (2) Nggak perlu belanja tiap hari ke tukang sayur, which is kadang suka belanja lebih yang ada malah kebuang-buang itu bahan mentah. (3) Siapa yang mau masak? Saya sendiri nggak bisa masak. Mau ngandelin mba’nya, nggak degh. Kan tugas dia yang utama itu menjaga Nares. Kalo udah masak, takutnya Nares malah nggak kepegang. So that’s why saya pilih catering sajah untuk makan orang dewasa.

Untuk Nares, saya bersedia masak! Why? Karenaaa : (1) Saya memutuskan untuk Nares makanan yang non-instant, walaupun DSA mungkin bilang boleh kasih makanan instant. (2) Siapa yang mau masak makanan Nares kalo bukan saya? Sementara yang tau ilmu makanan bayi itu kan ibunya sendiri, bukan orang lain. (3) Kalo pake catering bayi, mahal ya ciyn... Catering bayi nggak semurah catering orang dewasa lho! Okey, dengan pertimbangan alasan di atas, jadilah saya harus masak buat Nares. Repot? Ya... mungkin diawalnya iya. Tapi daripada kena makanan instant? No lah ya. Biar kata nggak pake pengawet, atau pengawet makanan, tetep aja ada pengawetnya. Nehi yawh...

Dulu waktu awal Nares MPASI, saya pernah nyobain bikin makanan Nares untuk 3 hari sekaligus. Jadi saya punya waktu 2 hari kosong untuk leyeh-leyeh dan ongkang-ongkang kaki. Tapi itu dulu, waktu Nares makan 1kali sehari. Sekarang, Nares udah makan 3kali karbo dan 1kali buah. Kalo mau bikin per 3 hari sekali, kaya’nya kok nggak fresh ya? Secara yang dimakan Nares itu udah bubur nasi, lauk sayur dan kaldu-kaldu ikan/daging/ayam. Nah, kalo disimpen kelamaan, kok takut berasa aneh nantinya. Jadinyaaah, saya memilih untuk memasak setiap hari untuk makanan Nares.

Repot? Hahahaaa, ternyata enggak sama sekali! Cuma memang butuh strategi biar bisa masak tiap hari dan nggak repot.


So... Begini ceritanya kalo berhubungan sama masak makanannya Nares!

1.     Versi Belanja
Belanja bahan makanan Nares sih dari berbagai sumber. Kadang di pasar tradisional, kadang pasar modern (supermarket dan toko buah), kadang juga di tukang sayur. Mau tau kelebihan dan kekurangannya?

Positive-nya : 
Pasar Tradisional : lengkap, murah, jenisnya banyak, masih seger
Pasar Modern : pasarnya bersih, bisa tau harganya dulu (kalo mahal ga jadi beli #emak hemat).
Tukang Sayur : enak buat emak yang males pergi-pergi (hahaaa, ini (+) apa (-) yak?)

Negative:
Pasar Tradisional : belanjanya nggak bisa tiap hari karena jauh dari rumah, becek, nggak tau harga
Pasar Modern : belinya harus banyak (kadang soalnya udah di pak-pak gitu), ga bisa milih-milih kalo udah di pak-pak-in, harganya agak mahal, barangnya kadang udah nggak segar
Tukang sayur : suka kelewatan kalo di rumah, kadang bawaannya juga nggak lengkap (jadi nggak bisa match sama jadwal yang mau dibikin).

Nah, makanya kalo saya itu belanjanya kadang di pasar tradisional, kadang di supermarket, kadang juga di tukang sayur.  Eh, tapi kalo kaya ikan tuna, salmond gitu, saya belanja di supermarket. Soalnya di pasar tradisional suka nggak ada. Kalo buah-buahan, lebih sering beli di supermarket dan toko buah. Soalnya di pasar tradisional, buahnya nggak kece! Alias suka berkeriput alias nggak tau harganya. Udah gitu, standard buah pasar adalah pepaya, pisang, jeruk, anggur, mangga. 

Oia, saya lebih seneng belanja dalam jumlah barang yang sedikit-sedikit tapi macam sayuran dan buahnya banyak. Jadi bisa lebih variasi untuk menu-nya. Makanya itu, kalo sayuran, saya suka belanja di pasar tradisional. Karena bisa beli sesuka hati. Ini contohnya, Sabtu kemarin saya belanja: 2 buah wortel, 6 tangkai buncis, 4 buah labu siam, 1 ikat sawi, 2 buah tomat, daun bawang selederi seikat kecil, 1 buah tahu, 1 bonggol daun salada air. Nah, susah kan kalo belanja di supermarket? Tapi kadang ada juga sih yang bisa beli dikit-dikit gitu.

penampakan jualan sayur di pasar tradisional, gemeeessshhh

2.     Versi perlengkapan
Pernah dibahas sih, di sini tentang peralatan MPASI. Cuma mungkin karena Nares udah 8 bulan, makannya udah 3kali berat dan 1kali buah, jadinya udah nambah blender. Kemaren kan lebih sering saringan. Oia, nambah lagi alatnya. Itu si grinder merk Munchkin udah dipake. Buat giling-giling makanan sebelum diblender. Soalnya kalo langsung blender, kadang suka nggak ancur. Makanya digiling dulu, baru blender. Peralatan lain yang nggak kalah pentingnya itu ya food container yang ukuran kecil-kecil, buat nempatin makanan setengah jadinya.

ini sebagian peralatan masak-masakan dek Nares




ini gambar meja makan kalo lagi bikin makanannya Nares. #berantakan 

3.    Versi persiapan bahan makanan
Naaah, ini dia yang seru, waktu nyiap-nyiapin bahan makanan Nares. Saat ngebersihin makanan Nares, biasanya saya lakukan di malam hari, setelah saya pulang kerja. Sekitar pukul 19.30-an saya mulai buka lemari es, cari-cari apa yang bisa dimasak buat Nares untuk besok. Yang pasti yang disimpen di kulkas bagian bawah itu yang jenisnya sayur dan tahu/tempe. Untuk kulkas bagian atas alias freezer, buat nyimpen kaldu dan daging-dagingan. Eh, tapi itu freezernya beda sama freezer buat tempat nyimpen ASIP yah. Freezer ASIP khusus buat nyimpen ASIP.

So, pilah pilih degh, sayur yang mau dimasak besok. Kalo saya sendiri, prinsipnya gini kalo nyusun menu makanan Nares dalam sehari, harus ada karbohidrat-nya, ada sayur, ada protein nabati (kacang-kacangan, tahu, tempe). Daaan, saya itu selalu nyusun menu makanan Nares untuk pagi, siang dan sore itu berbeda. Secara Nares suka susah makan, makanya aku rela bikin menu yang beda. Eh, tapi yang sama hanya bubur nasi dan kaldunya yang sama. Untuk sayurnya, saya bedain. Jadi, pilih 6 macam sayur yang ada kulkas untuk disiangin (dibersihin). 2 macam sayur untuk pagi, 2 macam sayur untuk siang, dan 2 macam sayur untuk sore. Banyak yah? Kalo dari jenis emang banyak, tapi kalo dari kuantitas, jadinya ya dikit degh. Seimprit-imprit gitu yang diambil. Tapi kalo 1 menu 1 sayur juga ga apa-apa sih, sah aja kok. 

·       Next step, setelah pilih 6 macam sayuran, ambil degh sesuai dengan kebutuhan buat makan Nares. Biasanya sih ya dikit-dikit juga kok. Kan masih campur bubur nasi dan kaldu juga gitu lho.
·       Udah diambil, dicuci degh itu bahan-bahan. Udah dicuci, trus dibersihin yah. Kalo kentang dikupas, labu siam dikupas kulitnya, brokoli, dipotongin dan buang batang (bayem dan kangkung juga neh), kalo buncis dan kapri dipotong ujung-ujungnya.
·       Lanjut, potong kecil-kecil itu sayur mayur biar masuk ke grinder, bisa digiling. Saya nggak berani masukin ke blender dalam potongan besar, karena pernah nyobain motong besar-besar, tapi nggak ancur itu sayuran potongnya. Oia, kalo nggak di potong kecil bisa juga diparut pake parutan keju.
·       Sayuran yang udah dipotong gitu, trus masukin ke food container kecil-kecil ya. Jadi, 1 food container kecil itu untuk 1 kali makan. Disitu udah ada 2 jenis sayuran untuk 1 kali makan.


siap sebelum di blender...  Cantik ya warnanya?


4.     Versi Masak Memasak
Udah beres sama bagi-bagi porsi makanan? Lanjut lagi ke versi pengukusannya, begini yang saya lakukan...

Shift 1 (malam ini) 
·       Siapkan pengukusan alias dandang, didihkan air dengan api sedang
·       Kalo airnya sudah mendidih, baru masukin deh tuh yang udah dipotong-potong tadi di food container tadi. Oia, usahakan kalo mengukus atau merebus bahan makanan, didihkan dulu airnya. Kata ibu saya, biar nggak lama-lama ngerebusnya atau ngukusnya. Nah, kalo mau rebus yang daging-dagingan juga gitu, didihkan dulu airnya. Jadi kalo ada darah-darah gitu, dia langsung beku, nggak ngotorin airnya.
·       Kukus selama 20menit. Kenapa 20 menit. Ini siyh berdasarkan pengalaman saya ya, kalo 15 menit itu masih kurang empuk itu sayurannya. Lah kalo 30 menit suka benyek jadinya. Makanya saya ngukusnya 20 menit. Saya biasanya pasang timer di hape saya, jadi biar nggak kelupaan.
·       Kalo udah timer bunyi di menit ke 20, silahkan matikan kompor dan tunggu sampai dia dingin.
·       Beress degh! Kalo udah dingin, boleh masukin lemari es yah. Jangan lupa, tutup itu food containernya.

Udah disimpen di lemari, kita tinggal tidur deeh... hehehe, besok pagi shift 2 masak dilanjut lagi ya bu...


Shift 2 (besok paginya)
Bangun tidur, ku terus mompaaa... hahaha... iya donk, tetep mompa sayah, karena Nares masih ASI di usianya yang 8 bulan 3 minggu ini. Nah, bangun tidur subuh, sebelum mompa, saya langsung masak buburnya Nares. Manual nih masaknya.

·       Cuci beras, sekali aja (katanya kalo kebanyakan, takut vitaminya ilang)
·       Abis dicuci, baru dimasak deh...
·       Kira-kira udah setengah mateng, cemplungin daun bawang seledri dan daun salam. Duuh, wangi dan gurih! Nah, selagi dimaska ini, jangan lupa aduk-aduk itu si bubur ya, biar nggak lengket di panci (walaupun teplon punya)
·       Tunggu kira-kira 1 jam, baru degh, tanak dan matikan kompornya.

Masak kaldunya gimana? Ini nih...
·       Daging yang udah dipotong kecil-kecil, masukin ke air yang udah mendidih
·       Tunggu 5 menit, masukin deh potongan bawang bombay atau bawang merah putih.
·       Udah tinggal separo airnya, matiin deh kompornya.


Nah, udah rapihkan semuanya? Bubur udah, kaldu udah, sayuran potong udah? Sooo, tinggal masukin degh tuh, si bubur, si kaldu, dan si sayuran potong ke dalam blender. Blender kira-kira 1 menit. Daaan, selesailah sudah bubur makanannya Nares. Kalo mau disaring, ya tinggal saring deh. Nggak juga nggak apa-apa. Untuk menu yang pagi, saya tambahin extra virgin olive oil, yang katanya bisa b uat nambahin berat badannya anak. Hehehe... ya, Nares sih emang nggak gendut-gendut banget, makanya pengen nge-boost berat badannya. Semoga berhasil (namanya juga usaha, yak!)
ini makanan Nares waktu masih 2 kali makan #lupa menunya

(Ki): bubur daging pokcay kacang merah, (Te): bubur daging wortel timun, (Ka): Kentang Tomat Pepino + keju

Gampang kan, masaknya? Nggak repot? Cuma buat waktu 30menit di malam hari dan 1jam di pagi hari. Biasanya sih saya suka ajak Nares duduk di high chairnya waktu saya bersih-bersihin makanannya yang malem. Jadi Nares tetap main sama saya, sambil saya ngerjain tugas saya. Tapi kalo pas mau ke deket api, ya jangan dibawa deket-deket ya. Kalo pagi-paginya, kadang Nares udah bangun kadang juga belom. Kalo belum siyh ya aman, kalo udah bangun ya palingan dibawa ke dapur juga. Huhuuu, untung dapur dan ruang makan nyambung jadi satu, makanya lega. 

MPASI rumahan dan no-instant, kenapa nggak?

Referensi yang biasa saya contek tuh dari : http://mamakukokihandal.com/, kadang juga dari group Homemade Healthy Baby Food, dan dari mana-mana lainnya...

KURIKULUM SD KINI... JAHARA DEH...

Buat ibu-ibu yang selalu mendampingi anak-anaknya belajar, pasti paham banget kalau materi pelajaran sekarang ini berat sekali. Ehm, apa ja...

Popular Post