4.24.2014

TIONGKOK AKU KEMBALI (Chapter 02 - habis)

Nah, lanjutan dari cerita kemarin waktu di Beijing adalah ketika kita dikasih kesempatan untuk melihat kota Shanghai. Alhamdulillah ya, kan saya udah cerita kalo kemarin yang 2007 itu, kita belum main-main ke Shanghai. Maka nikmat Allah mana yang kau dustakan, kali ini dikasih jalan ke Shanghai. Sebagai intro aja nih, kalau dari beberapa sumber yang saya baca, ini kota Shanghai letaknya agak lebih mendekat ke khatulistiwa, alias agak ke bawah. Kalau Beijing kan lebih ke atas yah. Nah, maka dari itu, kota Beijing itu lebih dingin dari kota Shanghai. Tapi kenyataannya, emang masih dingin juga sih. Ditambah pulak dengan angin yang niupnya agak kencang.

Berangkat dari kota Beijing di pukul 0800 kita menuju Shanghai. Perjalanan Beijing ke Shanghai yang berjarak sekitar 1500km ditempuh selama 5 jam saja dengan menggunakan Bullet Train. Stasiun kereta untuk ke Shanghai sama dengan stasiun kereta yang kita pakai untuk ke Tianjin kemarin. Bedanya cuma di gate masuk nya aja. Harga tiketnya adalah RMB 553 untuk sekali jalan duduk di kelas Ekonomi. Lumayan lah ya, Sekitar IDR 1,1 jutaan. Emang lebih murah dibandingkan dengan harga tiket kereta api Jakarta - Surabaya - Jogya (karena jaraknya mirip-mirip) yang seharga sekitar Rp 800,000. Tapi kan ya, ini waktu tempuhnya cuma 5 jam saja ya pemirsah. Bullet Train itu nyaman sekali, nggak ada suara berisiknya sedikit pun. Jadi, sepanjang 5 jam perjalanan itu saya nyenyak tidur. Biar nanti sampai di Shanghai bisa segar bugar lagi. Ya maklum aja, semalem udah kecapekan packing gara-gara mau bedol desa ke Shanghai.

Sampai di Shanghai, kita "landing" di Stasiun Kereta yang terintegrasi dengan Airport Domestic Shanghai Hongqiao. Keren abis emang, di sini, semua alat transportasi sudah terintegrasi. Dalam satu bangunan, ada terminal bus, ada subway, ada stasiun antar kota dan ada airport domestic. Canggih kan? Ini yang Indonesia belum punya. Di Indonesia, masing-masing alat angkutan umum masih berdiri sendiri. Walaupun Bandara Soekarno Hatta udah ada Damri, tapi tetap aja belum ada kereta apalagi terminal bus yang terintgrasi begitu. Nanti mungkin ya, tahun 2050 baru ada yang model gitu di Indonesia. Aamiin…

Shanghai, kota ini melekat banget dengan bangunan tinggalan jaman penjajah mereka : Inggris. Bangunan eropa banyak di berdiri di kota ini. Kotanya pun lumayan cukup maju. Dibandingkan dengan Beijing, Shanghai jauh lebih berkembang secara fisiknya. Hutan beton juga ini kota. Saya emang suka ngeliat sih, kalo peninggalan penjajah Inggris itu, kotanya lebih maju ketimbang negara yang dijajah sama Belanda. Liat deh, Singapore dan Hong Kong, juga Malaysia. Negara Commonwealth jauh lebih maju fisiknya dibanding Indonesia. Kalau waktu bisa diputar kembali, rasanya pengen banget dijajah sama Inggris. #eh. Ya ampun, nggak bersyukur banget ya, udah dijajah sama Belanda, malah minta dijajah sama Inggris. Emang rumput tetangga lebih hijau yeah.

Jalan-jalan di kota Shanghai, kita menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa lokasi yang terkenal di Shanghai. Pertama, kita ngunjungi pabrik sutra (ini sutra kain yah, bukan jenis sutra lainnya). Di pabrik ini, kita diliatin bagaimana ulat kepompong itu berkembang biak dan akhirnya bisa diproses itu sutra-nya. Pabrik sutra ini punya pemerintah China, makanya harganya nggak bisa mahal-mahal banget. Tapi kan ya, emang harga sutra itu nggak boong. Secara emang bikinnya juga nggak gampang. Butuh beberapa orang pekerja secara manual, dan nggak pake mesin, makanya mahal. Di pabrik sutra yang kita kunjungin ini, ada jual selimut sutra dengan berbagai macam ukuran, trus ada juga bed cover sutra, baju sutra, selendang sutra (asli yang ini made in China dan bukan lagu), dan ada pernak pernik lainnya juga kayak dompet, sarung bantal, tempat tissue, tas besar, tas kecil. Saya menyempatkan beli selendang titipan si emak. Hihihi, harganya emang agak mehong, tapi kan ya mamak udah kepengen, ya belikan lah ya.

Proses bikin kain sutra
Sedang mempergakan bagaimana mengambil sutera-nya (ya sutra lah ya....)

Dari pabrik sutra, kita jalan lagi ke Pearl Tower. Ini merupakan landmark-nya Shanghai. Bentuknya ada bola-bola gitu. Ini architect-nya asli Perancis, dibangun sekitar tahun 1996. Tinggi menara ini 256 meter dari permukaan tanah. Nah, dari atas menara Pearl Tower ini kita bisa lihat keseluruhan kota Shanghai. Menara Pearl Tower ini dikenal juga dengan TV Tower. Tapi sebelum kita naik ke Pearl Tower ini, kita menyempatkan diri jalan di sisi sungai yang terkenal di Shanghai, yang lebar badan sungainya itu kayak selebar sungai Kapuas. Lebar banget deh, pokoknya. Lha wong kapal tangker aja bisa lewat situ. Nah sempat juga saya dikasih tau, kalau dulu orang Inggris datang ke Shanghai ya lewat sungai ini. Makanya, di pinggiran sungai ini masih banyak gedung-gedung sisa peninggalan jaman Inggris. Aseli cakep emang (lagi-lagi peninggalan Inggris).

Hutan Beton dan Sungai-nya

Tuh liat kapalnya gede aja... 

Shanghai ini ya, konon menurut cerita, bisa maju juga karena orang-orang yang asli penduduk Shanghai ini penuh gengsi. Mereka rela beli barang mewah, demi penampilan. Istilah kasarnya, sebodo amat makan nasi warteg, tapi yang penting bisa punya tas LV, Aigner, Lanvin, atau apapun. Makanya, dalam hal pengembangan kota pun demikian. Mereka rela habis-habisan ngeluarin duit untuk pembangunan kota mereka, biar kota mereka dibilang, “wwaaahhh…”. Tapi jangan salah lho, dulu kala sebelum Shanghai ini maju, Shanghai merupakan kota yang terbuang, kota yang hancur lah. Kenapa? Soalnya Shanghai itu orang-orangnya diracuni sama yang namanya opium atau kalau anak jaman sekarang bilangnya “narkoba”. Hingga pada satu saat pemimpin tertinggi di Shanghai pusing dengan kelakuan tentara-tentaranya yang jadi pada tukang mabok opium. Nah, dari situ deh perang terhadap opium dimulai. Shanghai pun bangkit kembali. Sekilas ya, kalau kota Shanghai ini merupakan kota modern di China, sementara kalau Beijing itu emang kota sejarah. Jadi, kalau mau belajar banyak sejarah, datanglah ke Beijing. Eh tapi ada lagi sih kota yang lebih tua. Itu namanya kota Xian. Aseli, disana banyak peninggalan sejarah jama dahulu kala yang masih bisa dilihat. Tahun 2007 ke Xian, kita sempat main ke Terracota dan mesjid tertua di Xian (hhhmmm, kok jadi pengen bikin tulisan 2007 ke China yak…).

Kita naik ke Pearl Tower juga akhirnya. Berapa harga tiketnya, saya nggak tau soalnya semuanya udah dibayarin. Yang saya tau, Cuma di dalam Pearl Tower ini kita naik ke salah satu bola, yang bola itu lantainya dibuat dari kaca. Jadi kita bisa ngeliat ke bawah. Buat yang ngeri ketinggian, saya sarankan untuk nggak mendekat ke lantai kaca itu. Saya sendiri, nggak phobia sama ketinggian, tapi awalnya ya agak gimana juga gimanaaa gitu. Abis itu ya biasa aja lagi. Di atas ini beneran kita bisa lihat kota Shanghai dengan hutan beton-nya. Cakep lah. Mirip sama Hong Kong gitu.

Apa rasanya ya... 

Kota Shanghai dari Pearl Tower

Selesai main ke Pearl Tower, kita berangkat ke tempat belanja souvenir khas Shanghai, namanya YuYuan Night Market. Barang yang dijual disini banget-banget barang souvenir dan hampir nggak ada barang palsu-palsuan mirip di Yashow Beijing. Harga yang ditawarkan pun nggak segila di Yashow, tapi ya tetap mesti ditawar lah. Lumayan loh, beli tas boneka panda buat nares yang backpack, dia majangnya RMB 128, tapi akhirnya lepas juga RMB 50. Nah, di YuYuan itu, ada juga toko yang nggak mau ditawar, tapi di toko mereka udah ada tulisan fix price dan ada label harganya. Harganya emang belum tentu lebih murah, tapi yang jelas kita nggak pake ngotot untuk nawar-nawar pake urat. Ada salah satu toko yang kita kunjungi, jual boneka panda kecil seharga RMB 15 saja, padahal waktu di Yashow, nawarinnya RMB 200, di YuYuan toko lainnya nawarin RMB 45. Itu alat pijet muka yang dari jade ukuran kecil, harganya RMB 15. Nah, kalo udah belanja, mendingan jangan cerita ke temen-temennya ya. Soalnya bisa jadi temennya sakit hati karena beli barang yang sama, tapi harganya jauh lebih mahal. Wkwkwk….

YuYuan Garden at Night... Cakeeeep!

See the lighting... 
Belanjaaaaahhh...

Oia, pasar malam ini bentuk pasarnya lucu banget (lebih tepatnya cakep). Bangunan deret toko-toko dibalut dengan bangunan gaya arsitektur China. Dan yang membuat keren banget itu karena lightingnya yang emang jagoan banget. Cakep, indah, keren, bagoooos lah pokoknya. YuYuan ini tutup sekitar pukul 2200 local time. Bener-bener udah nggak ada yang buka di pukul 2200 itu. Mereka penjual disana serempak nutup toko entah pukul berapa. Karena pas kita turun selesai makan, toko-toko udah pada tutup semua. Huaaa, yang tadinya mau belanja lagi, malah nggak bisa. Hiks hiks hiks, dasar ibuk-ibuk… Dan finalnya adalah disini saya beli 2 boneka panda kecil, 1 tas panda backpack, 4 piece magnetic Shanghai, 1 piece crystal pasir landmark Shanghai, gelang batu Tiger Eye buat "si engkong" plus boneka karakter Kwang Dong, kaos Shanghai 2 bijik, tas manik hitam buat pesta (ini buat sayaaah). Lumayanlah, semua yang penting kebagian. Olraaaiiitt...

Di Shanghai, selesai sudah perjalanan kita. Berakhir lah sudah cerita saya ini. Mudah-mudahan nanti ada kesempatan lagi ya, ngunjungi kota di China yang lainnya. Aamiin… Mudah-mudahan juga nanti bisa pergi sama sang suami dan anak-anak… aamiin… Mudah-mudahan juga buat yang baca ini, kalau belum ke China, nanti bisa main ke China ya… aamiin…

4.20.2014

TIONGKOK AKU KEMBALI (Chapter 01)

Alhamdulillah ya Allah, bisa kembali menginjak tanah leluhur, tanah kelahiran buyut kungkung Muhammad Ali yang terlahir atas nama Lim Hok Lai, yaitu negeri Tiongkok. Emang kalo disuruh ziarah tuh ada aja yak rejekinya. Hihihi, kali ini pas dinas dari kantor untuk ngeliat gimana sistem perkeretaapian serta tata kota di negara Tiongkok itu.  Tahun 2007, kami sekeluarga berkesempatan untuk mengunjungi tanah leluhur kami. Tahun 2014 ini, saya berkesempatan datang lagi. Senang tak terkira rasanya. Di sini, di postingan ini, saya cuma mau cerita bagian kita jalan-jalannya ya. Seseruan berbagi pengalaman. 

Alhamdulillah (selalu dan lagi) kota yang belum pernah saya sambangi di kunjungan tahun 2007, disambangi tahun ini. Shanghai. Yes it was. Tahun 2007 saya nggak ke Shanghai. Emang rejeki, tahun ini bisa lihat Shanghai. 



Day 01


Hari pertama kita jalan-jalan di Beijing, kita langsung menuju Forbidden City. Itu merupakan rumah dari Kaisar China di jaman jebot. Konon katanya, jumlah kamarnya ada 9.999 karena menyesuaikan dengan jumlah selir si kaisar. Kebayang ye, jumlah selir segitu banyak, anaknya mau berapa bijik? Yaudahlah ya gak usah dibayangin. Forbidden City ini terkenal emang dengan kota terlarang. Agak-agak mirip sama kota haram di Arab gak sih? Bedanya adalah kalo kota terlarang di Beijing ini cuma sebutan di jaman dulu. Jadi, kota terlarang ini adalah terlarang buat beberapa orang yang emang gak boleh masuk atau bagi yang di dalam udah gak boleh keluar. Sayangnya di Forbidden City kali ini ada beberapa bangunan yang lagi di renovasi. Jadi gak bisa liat langsung deh.  


Tepat di depan pintu masuk Forbidden City


Forbidden City with my "pakde" xixixi...  Itu gerbang keharmonisan tuh yang di belakang

Pk 1200 siang, kita meninggalkan Forbidden City dan menuju pusat kerajinan tangan batu giok atau yang lebih dikenal dengan Jade. Jade di pabrik ini, dijamin keasliannya dan pastinya dijamin kemahalannya. Hahahaaa... makanya jujur aja saya nggak beli sebijik pun giok disini. Selain emang karena nggak terlalu suka giok, ya mahal itu. Akhirnya saya menikmati duduk di sofa yang disediakan sama toko tersebut. Sambil menikmati rekan-rekan yang berbelanja giok bin jade. 


My partner in crime in China 2014


Pkl 1430 kita berangkat menuju tempat makan. Lapar ya ciyn, makan pagi terkahir, sekitar pkl 0600. Sekarang di Beijing udah pukul 1500 yang mana di Jakarta sudah pkl 1400, makanya lapar sangat. Kita makan di restaurant menuju ke Great Wall, biar nggak jauh-jauh amat gitu loh makannya. Makanan yang disajikan pastinya dimintakan non-pork dan non-lard. Tapi ya nggak mungkin Halal, secara emang disana kalau untuk label Halal itu sangat susah. Alhamdulillah, saya makan nggak repot dan cerewet banget. Yang penting nggak berbabi dan baca doa, inshaa Allah berkah. Aamiin ya Allah... 


Selesai makan siang, kita langsung menuju ke salah satu titik pintu Great Wall alias Tembok Cina yang beken itu. Tembok Cina yang panjangnya adalah 6750 kilometer (ada 5 propinsi di China yang dipagarin sama Great Wall) ini mempunyai 5 titik pintu yang bisa diakses sama pengunjung di Beijing, tapi yang mudah diakses ya yang kita tuju ini. Dulu, tahun 2007 saya ke sini sama bapak ibu juga ke tempat ini. Jadinya kangen deh pergi jalan-jalan sama bapak ibu *mewek. Di Great Wall, ini kita diberikan waktu selama 1 jam untuk lihat-lihat dan naik ke atas pos yang ada di deket titik itu. Tapi saya dan "my partner in crime in Beijing" memilih untuk nggak naik ke pos itu. Nanjak-nya nggak nahan, boook. Takut bisa naik nanti nggak bisa turun. Bener aja gitu, ada yang bisa naik nggak bisa turun, kakinya kram hebat pas mau jalan turun :( . Pilihan yang tepat buat saya. Gerbang masuk ini ditutup pukul 1600 local time. Tapi kalo keluar sih bisa sampe lewat pkl 1700. Ya males juga gelap-gelapan di Great Wall ini. Apa juga kan yang mau diliat?
The Great Wall - Sekarang dipasangin gembok juga yeee....



Pkl 1700 kita chao menuju tempat pabrik obat yang sangat terkenal seantero Cina, itu lho tempat obat-obatan herbal. Yang terkenal itu obat luka bakar-nya yang namanya Bao Fu Ling. Tapi kan ya, ada obat-obatan lainnya juga yang dijual disitu. Ini pabrik obat punya pemerintah, dan turis yang datang ke Beijing wajib mengunjungi toko ini. Selesai dari toko obat ini udah pkl 1900 dan kita siap-siap menuju tempat dinner. Eya ampuuun, baru kelar makan sore, disuruh makan malam pula. Tapi karena cuaca dingin, jadinya emang laper terus. Dan pastinya mau cari toilet untuk buang air kecil. Oia, tips penting buat yang pergi ke China, bawalah tissue basah dan tissue kering sebanyak mungkin. Karena toilet di China ini banyak yang tidak menyediakan (hampir tidak ada) kran shower air untuk bilasan. Dan, kondisi toilet pasti "harum semerbak". 

Makan malem kita di Daheng Reataurant. Jangan tanya makanannya enak apa nggak. Jawabnya sangat biasa saja. Lagian juga yang penting kan ngisi perut ya, jadi mari nikmati makan malam yang ada. Habis makan makan malam, kita dianter ke hotel untuk istirahat. Besok pagi kita harus berangkat liat Stasiun di Beijing dan sedikit keluar kota. Oia, di Beijing ini, kita nginep di Hotel Jiangxi Grand Hotel. Hotel **** yang harga kamarnya yang paling murah adalah RMB 1888 (kurs RMB 1 = Rp 1900, tinggal dihitung sendiri saja yah). 


Day 02 

Hari kedua ini, kita siap-siap lagi karena harus ngejar kereta ke kota Tian Jin. Sebelum naik kereta yang keluar kota, kita nyempetin diri untuk naik kereta dalam kota alias subway gitu. Persis sama dengan MRT di Singapore deh. Ya station-nya, ya keretanya, ya tiketnya. Maaf ya, kalo dibandingkan dengan Jakarta, ya mungkin hanya 15% miripnya. Selebihnya, banyak bedanya. Jakarta emang harus banyak berubah. Kalau orang lain bisa, kenapa kita nggak bisa ya? Kondisi kereta dalam kota di Beijing ini pada jam kunjungan kita sekitar pk 0800 pagi ya sama kondisinya dengan KRL di Jakarta. Penuh sesak sampe mau keluar pun susah. Tapi, di Beijing ini, keretanya tiap 5 menit udah lewat. Jadi penumpang nggak pake numpuk. Ya maklum saja, di Beijing, kereta nggak pake kudu dijagain palang pintu dan bersinggungan dengan pengguna jalan lainnya. 

Subway station Beijing South 

Stasiun Antar Kota nih. Udah kayak airport yak... 

Kereta ke Tian Jin ini kereta terkenal dengan nama "Bullet Train" diberikan nama CRH alias China Railway Highspeed. Kecepatan yang dapat ditempuh adalah sampai dengan 305km/jam, jadi jarak Beijing Tianjin sekitar 150km itu cukup ditempuh dengan 30 menit saja pemirsah. Sedep bener ye... Stasiun untuk kita berangkat ke TianJin ini namanya South Beijing Train Station. Dia merupakan stasiun yang terintegrasi dengan kereta dalam kota (ala-ala MRT atau Commuterline) dan juga terminal bus. Mungkin kalo di Jakarta ini kayak di... mana ya? Nggak ada ye, kayaknya... Hahahaha!!! Di TianJin kita nggak keluar stasiun kereta. Kita cuma visit di Stasiun aja karena harus ngejar balik jadwal kunjungan ke tempat berikutnya. Stasiun kereta di China ini nggak beda jauh sama airport di Indonesia. Aseli keren. Segala toko mirip Duty Free pun ada di stasiun kereta.

THe Bullet Train 

Inside the bullet train - economy class

Balik ke Beijing, kita lanjut dengan makan siang di Yashow Shopping Center. Yashow ini merupakan pusat perbelanjaan di Beijing yang terkenal dengan "injek-injekan" harganya. Pedagang di sini, nawarin barang-barang dengan harga sekitar 5 kali lipat dari harga yang seharusnya. Bener banget deh, misalnya aja, semalem itu di pasar malem hotel, harga magnetic khas Beijing, dijual seharga RMB 10 untuk 3 bijik. Di Yashow ini, magnetic yang sama persis bentuknya, dia buka harga RMB 20 untuk sebijiknya. What the hell banget ya. Dan nawar harga disini emang harus pake urat. Buat saya pribadi, males urusan nawar-nawar nggak jelas gini. Apalagi pedagang disini suka ngomong dengan kata-kata "you crazy", "you kidding", "you joking", "just go"... ahahaha.... dan akhirnya saya pun hanya beli 3 tas bordir khas Cina yang seharga RMB 80 beserta tas simple seharga RMB 20.

Yashow - Belanja disini siap mental aja...

Pulang dari Yashow, kita menyempatkan diri jalan ke lapangan berdarah Tian An Men. Disinilah tragedi berdarah mahasiswa dibantai sama pemerintahan Cina. Ujung-ujungnya sih ini gegara masalah politik. Bisa dibilang kaya' tragedi Trisakti '98 itu kali ya. Disini ribuan mahasiswa menjadi korban, makanya disini ada monumen tragedi mahasiswa itu. Oia, Lapangan Tian An Men ini dikelilingi sama 4 gedung yang sangat penting. Ujungnya Forbidden City, Museum Nasional, Makam Mao Ze Dong (pemimpin China yang terkenal dengan komunis-nya) dan ada juga gedung Dewan China gitu. Makam Mao Ze Dong sekarang cuma dibuka di hari tertentu dan itupun antrinya udah dari jam 5 subuh. Wedeeew, padahal ya, pengen banget liat mumi-nya Mao Ze Dong. Tapi emang nggak nasib...






Balik dari lapangan Tian An Men, kita diajak nonton akrobat. Aseli ini akrobat disini bener-bener memukau penonton. Liat akrobat ala Cina yang sangat butuh ketrampilan dan keahlian nan luar biasa. Pasti mereka yang memainkan akrobat disini udah dilatih dari bayi oek oek kali ya. Badannya bisa lentur kaya karet. Nggak kebayang kalo udah tua baru latihan, bisa-bisa tulang patah semua. huahahaha....

Panggung akrobat (duduk di VIP nih, ceritanyaaah...)


Makan malam kali ini kita ngunjungi restoran Peking Duck tertua di Beijing. Enak kah? Yah standard Peking Duck lah. Masih enakan Peking Duck di Lei Garden Singapore punya #belaguk *toyor pala sendiri! Tapi yang enak itu karena emang kita udah kelaperan, jadinya makan apapun jadi enak. Huahaha...  Aseli ya, itu piring lauk dan nasi habis tak bersisa. Sisa piring dan sampah doang. Kita pada kelaperan karena dingin (alesan banget).

Selesai acara kita hari ini. Istirahat kembali ke hotel untuk packing karena besok pagi kita harus berangkat ke Shanghai. Iyak, selamat ber-packing dan susun strategi biar koper nggak beranak pinak. Secara besok harus pindah kota pake kereta dan nggak ada porter, jadi yang udah belanja kudu mikir kalo nambah-nambah bawaan. Rempong bin ribed.

Selamat malam, selamat tidur (tidur pagi karena sibuk packing).

Tunggu lanjutannya di Chapter 2 yah... ;)

4.17.2014

COROLLA ALTIS - BERAWAL DISINI (Chapter 01)

Mari berbagi kembali... kembali berbagi cerita. Ya maklum aja, namanya juga nge-blog dan masih pemula, jadi cuma bisa ngebagi cerita. Nanti insyaaAllah kalau udah naik kelas jadi senior blogger, baru aku kasih hadiahnya ya... Mari semangat menjadi senior blogger... 

Pemirsah pembaca yang budiman dan budiwati yang dimuliakan Tuhan, cerita kali ini saya ingin berbagi tentang kendaraan tunggangan saya. Sedan warna emas alias gold ini sudah dari November 2010 menemani keseharian saya. Rumah ke kantor, kantor ke rumah, rumah ke pasar, pasar ke rumah, rumah ke kampus, kampus ke rumah, pokoknya kemana aja pake si goldy ini. Nah, di chapter 01 ini saya mau share sejarah saya milih si sedan ini walaupun di usianya yang sudah termasuk ABG. Nggak masalah, asalkan mau sama mau dan suka sama suka toh... Hahaha....


Ini sejarah pakai sedan Toyota Corolla di keluarga kami...

Di tahun saya lahir, 1981, bapak saya alhamdulillah baru mendapatkan rejeki untuk memiliki mobil sendiri. Kerja keras-nya menjadi laskar negara, akhirnya membuahkan sebuah (apa sebiji? apa seekor?) mobil. Mobil yang dibeli bapak bukan mobil gress masih berplastik, tapi mobil second hand alias tangan kedua alias mobil bekas. Jaman dulu itu ya, punya mobil emang nggak mudah semudah sekarang yang modal 20 juta perak juga bisa punya mobil. Bedaaa banget. Makanya, bapak milih untuk meminang mobil keluaran tahun 1974, yang berarti sudah berumur 7 tahun saat dipinang di tahun 1981. Tapi itu pun sudah bersyukur banget ya, pemirsah... Rejeki halal yang penting, biar berkah #apasik.

Toyota Corolla hijau itu jauh juga perjalanannya. Sempat kita pakai mudik ke Magelang, Yogya nengokin eyang putri. Trus belum lagi main kalau ke Anyer sih, udah beberapa kali. Bandung dan Cianjur juga nggak lewat. Handal emang mesinnya. Yups, pilihan yang tidak salah!

Toyota 74 macam ini tampaknya (sumber: www.pakwheels.com)

Corolla tahun '74 ya, akhirnya kita pakai sampai tahun '86 saja. Berhubung kita harus ikut bapak pindah dinas keluar kota, akhirnya itu mobil kita jual juga. Sedih sih, udah sempet nemenin kita mudik ke Magelang dari Jakarta untuk beberapa kali, eh akhirnya harus pisah juga. Tapi emang dasar jodoh, di tempat baru bapak dinas, kita pun kebagian mobil dinas : Toyota Corolla '86. Yihaaa...., lagi dan lagi pakai Corolla. Kayaknya emang udah jodoh ya, pakai Corolla ini. Mobil simple tapi keren dan seksi. Yups banget. Corolla itu emang sexy!

Corolla '86 kendaraan dinas bapak ini harus direlakan kepada orang lain, soalnya kita pindah lagi ke Jakarta. Pulang ke rumah, mulai lagi dengan babak yang baru kehidupan (apa sih nih bahasanya?!). Sayangnya, jalanan Jakarta yang saat itu kurang bersahabat alias banyak hancur, sang bapak milih kendaraan MPV kembali. Katanya bapak, "Sayang kalau pakai sedan di jalanan rusak". Yaaah, apa mau dikata, sang pemilik uang nan berkuasa berkata tidak untuk sedan Corolla. 

Toyota '86 ini yang kita pakai (sumber: en.wikipedia.org)

Tapi emang dasar rejeki. Di tahun 1998 ketika saat itu krisis moneter melanda, sang berkuasa kembali merealisasikan keinginannya untuk membeli mobil tambahan untuk antar sang ibu pejabat ke tempat kegiatannya. Nah, secara emang udah pengalaman 10 tahun pakai Toyota Corolla dan nggak pake ribet, nggak pake aneh-aneh nggak pake resse akhirnya sang penguasa memilih Toyota Corolla Great keluaran tahun 1995 untuk nyonya besar. Wedewww... sedep kan pake Corolla lagi dan lagi. 

Tapi emang dasar rejeki, ini Corolla Great milik nyonya besar akhirnya dilungsurin ke saya. Alhamdulillah, dapet lungsuran Corolla Great yang sangat heits di tahun tersebut. Emerlad Red, begitu warna tertulis di STNK si Corolla Great. Ini mobil banyak jasanya. Mulai nemenin kuliah, kerja praktek, skripsi, sampai wisuda dan sampai pacaran #eh. Sampailah 7 tahun di usia kebersamaan saya dengan Corolla tersebut karena sang empunya kuasa punya titah yang lain pula (aseli ya, pas mobil ini diambil sama yang beli, dan saya pun menangis sejadi-jadinya). 

Miriplah sekali mobil kita waktu itu (sumber: mobil.mitula.co.id)

Corolla saya diganti dengan Corona, lungsuran sang penguasa nomor 1. Yah, emang dasar Toyota, mesinnya emang handal. Tapi sayangnya, Corona yang saya pakai itu cinta banget sama pom bensin. Habislah uang jajan sebulan untuk uang bensin saja. Ya maklum, namanya saja mobil 2.000cc, automatic transmission pulak, tambah lagi jalanan macet Jakarta ini. Komplit sudah. Akhirnya tahun 2008, setelah 3 tahun  pakai Toyota Corona, saya pun menyerah. 

Kijang kaspul diesel pun jadi besutan saya. Gagah dan macho ya boook... Naik tanjakan nggak pernah masalah. Bawa ke Puncak nggak rewel. Alhamdulillaaaaah... rawatnya juga nggak nyusahin. Ibarat anak yang tau diuntung, nah itulah Toyota. Itu mobil handal banget. Sebenernya juga sayang banget ngelepas itu mobil, karena emang masih nyaman dipakai, mesin nggak pernah ngadat dan hemat energi klakson. Secara orang di jalan pasti udah bakalan minggir dan kita nggak perlu repot-repot mencet klakson. Suranya itu loh. Tapi berhubung waktu itu saya hamil dan agak susah untuk naik turun mobil tinggi, akhirnya saya request ke pak suami untuk ganti mobil dari yang MPV gitu ke sedan saja. 

Nah, akhirnya kita sempat bingung nyari-nyari pilihan sedan yang paling cocok untuk seorang bumil. Sempet lirik-lirik toko sebelah, tapi akhirnya atas saran dari bapak boss yang dipertuan agung adalah, "Udahlah Toyota aja, nggak macem-macem. Rawatnya gampang, nggak macem-macem juga..." Nah kan, rekomendasi tetap ke Toyota. Ketok palu 8 kali, akhirnya saya dan pak suami mutuskan untuk beli Toyota Corolla Altis. Dan semenjak itu, pencarian Altis yang paling baik pun dimulai... jerengjengjeng....

Let's gooo with Toyota.... Ahiyyy... (akan berlanjut di Chapter 02)
Tulisan ini diilhami oleh keluarga besar Toyota Corolla Altis Indonesia Community

KURIKULUM SD KINI... JAHARA DEH...

Buat ibu-ibu yang selalu mendampingi anak-anaknya belajar, pasti paham banget kalau materi pelajaran sekarang ini berat sekali. Ehm, apa ja...

Popular Post