2.09.2012

KISAH ERWIN - Bagian 1


Masih inget kan, cerita tentang Erwin? Teman saya yang nggak bisa melihat dengan jelas? Kalo lupa atau belum tau, coba intip ini ya, mudah-mudahan bisa refresh sedikit. Yuks akh, lanjut lagi cerita tentang Erwin.

Karena udah pada galang dana kesana kemari untuk Erwin, maka di minggu awal penggalangan dana tersebut, akhirnya diputuskan untuk melihat kondisi Erwin. Berdasarkan kesepakatan teman-teman alumni SMP, akhirnya dipilihlah hari Sabtu untuk berkunjung ke rumah Erwin. Iya pastinya hari Sabtu, karena kalau di hari kerja, pasti nggak ada yang bisa. Termasuk saya pun, sepertinya tak bisa. Okey, Sabtu pagi, sekitar pukul 09.00 pagi, titik kumpul di SMPN 219 Joglo. Ada beberapa teman di group yang sudah mengkonfirmasikan kebersediaannya untuk ikut ke rumah Erwin. Namun ada beberapa juga yang mengkonfirmasi bahwa dirinya tak bisa hadir. Yah, tak apalah, mengerti kok saya. Mungkin ada acara lain yang lebih penting dan sudah direncanakan dari jauh-jauh hari.

Di hari Sabtu pagi tersebut, hujan turun lama dan cukup lebat. Namun walau hujan pun, niat yang sudah dikobarkan tak akan dipadamkan lagi (haeish, bahasanya enak bener yak?). Jam 09.30, saya pun masih terjebak di kemacetan di daerah sekitar Permata Hijau. “Sabar ya temans, maaf saya baru sampai di Permata Hijau. Macet”, begitu kira-kira bbm saya kepada teman-teman di chatgroup teman-teman SMPN 219. Dan akhirnya, sekitar pukul 09.30 saya pun tiba di titik kumpul, yaitu SMPN 219. Akhirnya, setelah sekitar 10 tahun tidak melihat langsung sekolah ini, di hari tersebut, bisa juga saya melihatnya kembali. Saat itu di titik kumpul sudah ada Dwi dan Rieka. Ibu dan calon ibu ini, sudah menunggu dengan setianya. Tampak pun Hadi belum ada, begitu juga dengan Gina. Tak selang beberapa lama, Hadi dan Gina pun hadir. Baiklah, kalau begitu, tinggal menunggu Umar. Hujan pun masih belum berhenti. Sembari menunggu Umar dan hujan reda, kami yang sudah datang terlebih dahulu sempat bernostalgia di sekolah ini.

Wohooo, 16 tahun sudah meninggalkan sekolah dan kini kami disini. Untuk saya sendiri, langsung lah semua kenangan yang pernah terjadi di saat saya sekolah di sini, bangkit dari kuburnya. Hahahaaa, mulai dari tukang jajanan, sampai dengan pembahasan guru-guru. Okey, saya nggak mau bahas lebih lanjut ya, mengenai yang terjadi di masa lalu (siapa juga yang mau baca, ya Mona...?).

Setelah semuanya kumpul, tibalah saatnya berangkat. Hadi, Gina, Dwi (beserta putrinya, Rara), Rieka, Umar, Ahmad (beserta istri dan anak) menuju ke rumah Erwin. Menyusul kemudian Kurniati, yang langsung menuju ke rumah Erwin. 1 mobil dan 3 motor, dengan niat baik yang tulus dan ikhlas, berangkat menuju rumah Erwin. Tentu saja, Hadi sebagai pemimpin rombongan kunjungan. Bismillah...

Lokasi rumah Erwin kini ternyata di dekat menara stasiun televisi ANTV, daerah Meruya. Sepengetahuan saya, dulu itu rumah Erwin di sekitar perumahan Puri Beta, Joglo. Ternyata, setelah menikah dengan istrinya, Erwin tinggal di rumah yang kami kunjungi ini.

Baiklah, lanjut ke kisah Erwin.

Rumah yang berukuran kurang lebih 2.5meter x 6meter ini ternyata milik orang tua istri Erwin yang memang dipinjamkan kepada Erwin, istri dan anaknya. Rumah tanpa halaman, bercat putih dan berada di gang yang hanya bisa dilalui oleh motor inilah, tempat Erwin dan keluarganya berteduh dari panasnya matahari dan dinginnya malam. Yah, kecil memang, bahkan bila dibandingkan dengan garasi mobil ukuran standard pun, masih leih besar garasi mobil. Tapi setidaknya rumah ini bisa melindungi Erwin dan keluarga dari segala gangguan yang ada. Begitu masuk ke rumahnya, terlihat jelas jejeran galon air di ruang tamu. Sesuai dengan pekerjaan Erwin, sebagai karyawan di perusahaan air isi ulang galon, maka di rumahnya pun terdapat galon-galon tersebut. Tak disangkal, di depan rumah Erwin pun tertera “Sedia Air Galon”.

Di depan rumah Erwin (1)

Di depan rumah Erwin (2)
Akhirnya, ketemua juga sama Erwin. Mukanya sih nggak banyak berubah. Heheee, emang mau kaya’ gimana lagi ya? Erwin ya tetep Erwin, gitu lho... Huhuuu, sempet speechless juga sih, begitu ketemu Erwin. Teman lama, setelah 16 tahun nggak ketemu, akhirnya ketemu lagi.  Okey, kita semua yang hadir di situ, membaur menjadi satu. Saling menanyakan kabar, saling bertukar nomor handphone, pin BB, ID facebook, dan lain-lain yang bisa dibagikan lah. Secara emang ngasih nomor juga gratis kan?

Mulai lah, pembicaraan dengan Erwin. Mulai dari tanya kabar, latar belakang kenapa bisa matanya seperti itu, sampai ke permasalahan berobat. Yah, satu persatu diantara teman yang hadir disitu saling sambut menyambut pertanyaan.

Diawali dengan pembicaraan mengenai mata Erwin. Ternyata, Erwin sudah merasakan gejala yang sangat mengganggu penglihatannya tersebut. Erwin memang berkaca mata semenjak SMP. Namun sekitar di awal Januari 2012, Erwin merasa ada yang semakin tidak beres pada mata kirinya. Berawal dari Erwin tidak bisa melihat lingkaran. Bentuk lingkaran yang dilihatnya, tidak lingkaran lagi, tapi sudah menjadi oval alias lonjong. Sudahlah minus tinggi, tambah lagi nggak bisa lihat bentuk dengan sempurna. Nggak kebayang ya, mata kanan Erwin itu minus 13 dan yang kiri minus 14. Hadeeeuuuh, saya yang minus 3.75 aja udah rempong. Tau nggak, saat ini ternyata Erwin memakai kacamata keponakannya yang berminus 9? Erwin belum bisa pakai kaca mata yang sesuai dengan minus-nya dikarenakan harga lensa untuk ukuran mata Erwin, ya memang mahal. Yah, lensa kacamata kan emang gitu, semakin tinggi minus-nya, maka akan semakin tinggi pula harganya. Pasti nggak enak degh, kalo pake kaca mata yang nggak sesuai ukurannya sama mata kita. Aseli degh, itu mata kaya’ kerja rodi. Beraaat, berat kerjanya mata kita.

Nah, karena ada keluhan tersebut, akhirnya ya Erwin datang ke Klinik Mata Mayestik untuk memeriksakan kondisi matanya. Menurut dr. Isfahani, dokter yang memeriksa Erwin, ternyata ada syaraf mata Erwin yang terlepas. Jalan satu-satunya adalah Erwin memang harus dioperasi. Yah, begitu mendengar kata-kata operasi, Erwin pun sempat merasa ‘down’. Pasti ujung-ujungnya tak lain dan tidak bukan adalah karena masalah biaya. Untuk biaya operasi yang sekitar 12 juta, sudah dapat dipastikan tidak akan terpenuhi. “Gw sih ya pasrah deh, terima nasib begini. Abis mau gimana ya, Mon, biayanya besar banget. Sedangkan penghasilan gw cuma dari anterin air galon ini”, begitu cerita kepasrahan Erwin dengan saya. Sambil nepuk pundak Erwin, sambil ngomong, “Sabar ya Win...” *senyum. Dokter yang memeriksakan mata Erwin, sempat menyarankan Erwin untuk tidak bekerja yang berat-berat. Termasuk di dalamnya adalah kerja sebagai penganter botol galon isi ulang. Namun apa daya, Erwin belum berkesempatan mendapat pekerjaan lain. Erwin pun sempat menunjukkan surat dari dokter mengenai penyakitnya. Tapi pun saya tak mengerti.

Surat dari dokter mata Erwin
Tanpa tersadar, Erwin melanjutkan cerita tentang pekerjaannya sehari-hari kepada kami. Yak, dari pekerjaan sehari-hari Erwin mengantarkan air isi ulang di sekitar perumahan Larangan Indah, Ciledug dan Komplek DKI Joglo, Jakara Barat, ternyata Erwin diupah Rp 1,000 untuk setiap galonnya. Setiap hari, kira-kira ada 50-60 galon yang bisa diantarnya. Berarti, dalam sehari Erwin bisa mendapatkan sekitar Rp 50,000 – Rp 60,000. Iya, itu kalau Erwin sendiri yang bekerja. Tapi kalau ada dua orang yang bekerja, berarti ya penghasilan Erwin hanya separuh dari hasil maksimum yang bisa dicapai. Serba salah memang sepertinya. Kalau dikerjakan sendiri, memang pendapatannya bisa maksimum, tapi badan pasti kerja keras. Kalau dikerjakan berdua, badan tidak kerja keras memang, tapi penghasilan hanya separuhnya. Yah, tapi belum ada pilihan lain untuk Erwin, selain bekerja di tempat isi ulang air tersebut. Kebayang kan, dari penghasilan perhari tersebut, betapa beratnya Erwin untuk membiaya pengobatan matanya.  Mungkin pun untuk biaya kehidupan sehari-hari hanya bisa secukupnya. Terlebih, istri Erwin, hanya seorang ibu rumah tangga.

Tak beberapa lama setelah kita berbincang di ruang depan rumah Erwin, anak Erwin satu-satunya, pun keluar dari dalam kamar. Si bocah kecil langsung duduk santai dipangku oleh ayahnya, Erwin. Saya pun menyempatkan berbincang santai dengan bocah tersebut.
 “Namanya siapa, mas?”
“Santo”
“Udah sekolah?”
“Udah”
“Kelas berapa?”
“TK”
“Emang umurnya berapa?”
“6 tahun” sambil dirinya mendirikan jari berjumlah 6

Erwin pun memotong pembicaraan kami, sambil melanjutkan kisahnya. *take a deep breath siap-siap buat baca kelanjutannya yah, pasti readers akan terenyuh seperti saya.

Erwin bercerita, untuk biaya sekolah (TK) Santo, sebulan menghabiskan sekitar Rp 150,000. Uang sebesar itu adalah untuk biaya Taman Kanak-kanak dan biaya belajar mengaji-nya. Lokasi Santo belajar pun dekat dengan rumah Erwin, supaya tidak memakan biaya transport lagi sepertinya. Hanya perlu berjalan kaki untuk mencapai sekolahnya. Seketika Erwin menangis, menitikkan airmatanya. Saya pun terdiam. Speechless. “Yang saya pikirkan hanya anak ini. Santo. Saya harus berjuang buat Santo. Biarpun saya susah, Santo nggak boleh putus sekolah. Santo harus sekolah tinggi, nggak kaya’ saya”, begitu ucap Erwin dengan nada yang terbata-bata. Nggak tega juga sih ya, saya ngeliat Erwin nangis begitu. Terenyuh banget. Erwin, walaupun hidup pas-pasan, tapi bersemangat untuk menyekolahkan anakknya. “Tahun ini Santo masuk SD, makanya saya harus kerja keras biar Santo bisa sekolah”, lanjut Erwin. Well, Cuma bisa kasih semangat buat Erwin, semoga cita-cita Erwin buat menyekolahkan Santo bisa terlaksana.

Setelah Erwin selesai menceritakan kondisinya, akhirnya kami pun menyampaikan tujuan dan maksud berkunjung ke rumah Erwin. Saya, sedikit memulai pembicaraan tersebut, sampai pada akhirnya rekan-rekan semua yang berkunjung ke rumah Erwin saling menambahkan maksud dan tujuan kedatangan tersebut. Termasuk di dalam pembicaraan tersebut juga adalah supaya Erwin tidak salah paham dengan maksud penggalangan dana ini. Tidak kalahnya juga dengan dukungan moril kepada Erwin, supaya Erwin bisa berobat sampai tuntas dan bisa beraktivitas seperti semula. Mudah-mudahan dengan niat yang tulus ini, semua proses dan jalan diberikan kemudahan oleh Allah, SWT. Aamiin. Kami semua disana, termasuk teman-teman yang tidak bisa hadir, menginginkan kesembuhan mata Erwin, agar dirinya bisa melihat kembali dengan sebaik mungkin.

Setelah Erwin dapat bernafas sedikit lega mengenai bantuan dari rekan-rekan dan kerabat maupun ada beberapa yang tidak mengenal dirinya, Erwin kembali resah. “Tapi gimana kerjaan nanti ya? Kan saya juga harus bekerja, tapi kalau harus anter dan angkat galon kembali, gimana nanti mata saya?”, pertanyaan terlontar dari Erwin. Kembali, kami semua disitu menyemangati Erwin. “Tenang Win, ini dulu disembuhkan. Nanti kalau sudah sembuh, baru kita bicarakan lagi, mengenai pekerjaan dan masa depan. Tapi matanya biar diobatin dulu ya...”, salah satu dari kami berujar demikian. Yah, memang tidak dapat disangkal, dimana-mana, pasti pancingan lebih dibutuhkan daripada memberikan seekor ikan. Tapi saya yakin, Allah Maha Segala-galanya, diriNya akan memberikan jalan keluar yang baik dan terbaik untuk Erwin.

Diujung pembicaraan, kami mendiskusikan beberapa hal yang perlu ditempuh oleh Erwin dalam rangka pengobatan matanya tersebut. Mulai dari periksa kembali ke dokter, urus surat-surat yang penting dari pejabat setempat, dan lain-lainnya. Tapi pada intinya, kami dari rekan-rekan Erwin, peduli dengan kesehatannya.

Erwin dan keluarga
Rasa hangatnya kebersamaan sangat terasa diruangan yang kecil tersebut. Walaupun kami sudah berpisah sekolah selama hampir 16 tahun, tapi pada saat kami berkumpul, seperti tidak ada waktu yang memisahkan. Syukurlah, saya mempunyai teman yang masih peduli dengan teman lama. Masih sangat peduli dengan rekan kecil.

Setelah 90 menit kami larut dalam pembicaraan, tiba kini saat kami berpamitan setelah sebelumnya kami menyempatkan berfoto dengan keluarga Erwin. Hari itu hari Sabtu, masih banyak mungkin keperluan yang harus dipenuhi oleh kami semua karena di hari kerja tidak sempat melakukannya. Satu persatu berpamitan kepada Erwin, sambil tak lupa memberi semangat kepada Erwin.

This is it, setelah belasan tahun terpisah
Readers, dari pertemuan saya bersama dengan rekan-rekan alumni seangkatan bersama Erwin, saya sedikit bisa mengambil pelajaran hidup yang amat sangat berguna. Teman ternyata tidak hanya sekedar teman, tapi teman adalah saudara. Bayangkan, Erwin yang “hanya” teman kami semasa SMP, tapi kita bisa kembali erat. Maka dari itu, benar sepertinya pepatah yang pernah disampaikan kepada saya melalu bapak saya. Begini katanya, “Punya seribu teman itu kurang dan punya satu musuh itu belerbihan”. See kan, dalam keadaan seperti ini, ternyata punya teman itu sangat bermanfaat. Bukan berarti memanfaatkan lho yak! Itu udah beda lagi urusannya. Hihihihi.....

Okey, demikian yang bisa saya share disini megenai Erwin pada saat kunjungan kami di rumah Erwin. Nantikan share saya selanjutnya ya, di episode berikutnya. 

No comments:

Post a Comment

KURIKULUM SD KINI... JAHARA DEH...

Buat ibu-ibu yang selalu mendampingi anak-anaknya belajar, pasti paham banget kalau materi pelajaran sekarang ini berat sekali. Ehm, apa ja...

Popular Post