Masih inget kan, cerita tentang
Erwin? Teman saya yang nggak bisa melihat dengan jelas? Kalo lupa atau belum
tau, coba intip ini ya, mudah-mudahan bisa refresh sedikit. Yuks akh, lanjut
lagi cerita tentang Erwin.
Karena udah pada galang dana
kesana kemari untuk Erwin, maka di minggu awal penggalangan dana tersebut,
akhirnya diputuskan untuk melihat kondisi Erwin. Berdasarkan kesepakatan
teman-teman alumni SMP, akhirnya dipilihlah hari Sabtu untuk berkunjung ke
rumah Erwin. Iya pastinya hari Sabtu, karena kalau di hari kerja, pasti nggak
ada yang bisa. Termasuk saya pun, sepertinya tak bisa. Okey, Sabtu pagi,
sekitar pukul 09.00 pagi, titik kumpul di SMPN 219 Joglo. Ada beberapa teman di
group yang sudah mengkonfirmasikan kebersediaannya untuk ikut ke rumah Erwin.
Namun ada beberapa juga yang mengkonfirmasi bahwa dirinya tak bisa hadir. Yah,
tak apalah, mengerti kok saya. Mungkin ada acara lain yang lebih penting dan
sudah direncanakan dari jauh-jauh hari.
Di hari Sabtu pagi tersebut,
hujan turun lama dan cukup lebat. Namun walau hujan pun, niat yang sudah
dikobarkan tak akan dipadamkan lagi (haeish, bahasanya enak bener yak?). Jam
09.30, saya pun masih terjebak di kemacetan di daerah sekitar Permata Hijau.
“Sabar ya temans, maaf saya baru sampai di Permata Hijau. Macet”, begitu
kira-kira bbm saya kepada teman-teman di chatgroup teman-teman SMPN 219. Dan
akhirnya, sekitar pukul 09.30 saya pun tiba di titik kumpul, yaitu SMPN 219. Akhirnya,
setelah sekitar 10 tahun tidak melihat langsung sekolah ini, di hari tersebut,
bisa juga saya melihatnya kembali. Saat itu di titik kumpul sudah ada Dwi dan
Rieka. Ibu dan calon ibu ini, sudah menunggu dengan setianya. Tampak pun Hadi
belum ada, begitu juga dengan Gina. Tak selang beberapa lama, Hadi dan Gina pun
hadir. Baiklah, kalau begitu, tinggal menunggu Umar. Hujan pun masih belum
berhenti. Sembari menunggu Umar dan hujan reda, kami yang sudah datang terlebih
dahulu sempat bernostalgia di sekolah ini.
Wohooo, 16 tahun sudah
meninggalkan sekolah dan kini kami disini. Untuk saya sendiri, langsung lah
semua kenangan yang pernah terjadi di saat saya sekolah di sini, bangkit dari
kuburnya. Hahahaaa, mulai dari tukang jajanan, sampai dengan pembahasan
guru-guru. Okey, saya nggak mau bahas lebih lanjut ya, mengenai yang terjadi di
masa lalu (siapa juga yang mau baca, ya Mona...?).
Setelah semuanya kumpul, tibalah
saatnya berangkat. Hadi, Gina, Dwi (beserta putrinya, Rara), Rieka, Umar, Ahmad
(beserta istri dan anak) menuju ke rumah Erwin. Menyusul kemudian Kurniati,
yang langsung menuju ke rumah Erwin. 1 mobil dan 3 motor, dengan niat baik yang
tulus dan ikhlas, berangkat menuju rumah Erwin. Tentu saja, Hadi sebagai
pemimpin rombongan kunjungan. Bismillah...
Lokasi rumah Erwin kini
ternyata di dekat menara stasiun televisi ANTV, daerah Meruya. Sepengetahuan
saya, dulu itu rumah Erwin di sekitar perumahan Puri Beta, Joglo. Ternyata,
setelah menikah dengan istrinya, Erwin tinggal di rumah yang kami kunjungi ini.
Baiklah, lanjut ke kisah Erwin.
Rumah yang berukuran kurang lebih 2.5meter x 6meter ini ternyata milik orang tua istri Erwin yang memang
dipinjamkan kepada Erwin, istri dan anaknya. Rumah tanpa halaman, bercat putih
dan berada di gang yang hanya bisa dilalui oleh motor inilah, tempat Erwin dan
keluarganya berteduh dari panasnya matahari dan dinginnya malam. Yah, kecil
memang, bahkan bila dibandingkan dengan garasi mobil ukuran standard pun,
masih leih besar garasi mobil. Tapi setidaknya rumah ini bisa melindungi Erwin
dan keluarga dari segala gangguan yang ada. Begitu masuk ke rumahnya, terlihat
jelas jejeran galon air di ruang tamu. Sesuai dengan pekerjaan Erwin, sebagai
karyawan di perusahaan air isi ulang galon, maka di rumahnya pun terdapat
galon-galon tersebut. Tak disangkal, di depan rumah Erwin pun tertera “Sedia
Air Galon”.
Di depan rumah Erwin (1) |
Di depan rumah Erwin (2) |
Akhirnya, ketemua juga sama
Erwin. Mukanya sih nggak banyak berubah. Heheee, emang mau kaya’ gimana lagi
ya? Erwin ya tetep Erwin, gitu lho... Huhuuu, sempet speechless juga sih,
begitu ketemu Erwin. Teman lama, setelah 16 tahun nggak ketemu, akhirnya ketemu
lagi. Okey, kita semua yang hadir di
situ, membaur menjadi satu. Saling menanyakan kabar, saling bertukar nomor
handphone, pin BB, ID facebook, dan lain-lain yang bisa dibagikan lah. Secara
emang ngasih nomor juga gratis kan?
Mulai lah, pembicaraan dengan
Erwin. Mulai dari tanya kabar, latar belakang kenapa bisa matanya seperti itu,
sampai ke permasalahan berobat. Yah, satu persatu diantara teman yang hadir
disitu saling sambut menyambut pertanyaan.
Diawali dengan pembicaraan mengenai
mata Erwin. Ternyata, Erwin sudah merasakan gejala yang sangat mengganggu
penglihatannya tersebut. Erwin memang berkaca mata semenjak SMP. Namun sekitar
di awal Januari 2012, Erwin merasa ada yang semakin tidak beres pada mata
kirinya. Berawal dari Erwin tidak bisa melihat lingkaran. Bentuk lingkaran yang
dilihatnya, tidak lingkaran lagi, tapi sudah menjadi oval alias lonjong.
Sudahlah minus tinggi, tambah lagi nggak bisa lihat bentuk dengan sempurna.
Nggak kebayang ya, mata kanan Erwin itu minus 13 dan yang kiri minus 14.
Hadeeeuuuh, saya yang minus 3.75 aja udah rempong. Tau nggak, saat ini ternyata
Erwin memakai kacamata keponakannya yang berminus 9? Erwin belum bisa pakai
kaca mata yang sesuai dengan minus-nya dikarenakan harga lensa untuk ukuran
mata Erwin, ya memang mahal. Yah, lensa kacamata kan emang gitu, semakin tinggi
minus-nya, maka akan semakin tinggi pula harganya. Pasti nggak enak degh, kalo
pake kaca mata yang nggak sesuai ukurannya sama mata kita. Aseli degh, itu mata
kaya’ kerja rodi. Beraaat, berat kerjanya mata kita.
Nah, karena ada keluhan tersebut,
akhirnya ya Erwin datang ke Klinik Mata Mayestik untuk memeriksakan kondisi
matanya. Menurut dr. Isfahani, dokter yang memeriksa Erwin, ternyata ada syaraf
mata Erwin yang terlepas. Jalan satu-satunya adalah Erwin memang harus
dioperasi. Yah, begitu mendengar kata-kata operasi, Erwin pun sempat merasa
‘down’. Pasti ujung-ujungnya tak lain dan tidak bukan adalah karena masalah
biaya. Untuk biaya operasi yang sekitar 12 juta, sudah dapat dipastikan tidak
akan terpenuhi. “Gw sih ya pasrah deh, terima nasib begini. Abis mau gimana ya,
Mon, biayanya besar banget. Sedangkan penghasilan gw cuma dari anterin air
galon ini”, begitu cerita kepasrahan Erwin dengan saya. Sambil nepuk pundak
Erwin, sambil ngomong, “Sabar ya Win...” *senyum. Dokter yang memeriksakan mata
Erwin, sempat menyarankan Erwin untuk tidak bekerja yang berat-berat. Termasuk
di dalamnya adalah kerja sebagai penganter botol galon isi ulang. Namun apa
daya, Erwin belum berkesempatan mendapat pekerjaan lain. Erwin pun sempat menunjukkan surat dari dokter mengenai penyakitnya. Tapi pun saya tak mengerti.
Surat dari dokter mata Erwin |
Tanpa tersadar, Erwin melanjutkan
cerita tentang pekerjaannya sehari-hari kepada kami. Yak, dari pekerjaan sehari-hari Erwin
mengantarkan air isi ulang di sekitar perumahan Larangan Indah, Ciledug dan
Komplek DKI Joglo, Jakara Barat, ternyata Erwin diupah Rp 1,000 untuk setiap
galonnya. Setiap hari, kira-kira ada 50-60 galon yang bisa diantarnya. Berarti,
dalam sehari Erwin bisa mendapatkan sekitar Rp 50,000 – Rp 60,000. Iya, itu
kalau Erwin sendiri yang bekerja. Tapi kalau ada dua orang yang bekerja,
berarti ya penghasilan Erwin hanya separuh dari hasil maksimum yang bisa
dicapai. Serba salah memang sepertinya. Kalau dikerjakan sendiri, memang
pendapatannya bisa maksimum, tapi badan pasti kerja keras. Kalau dikerjakan
berdua, badan tidak kerja keras memang, tapi penghasilan hanya separuhnya. Yah,
tapi belum ada pilihan lain untuk Erwin, selain bekerja di tempat isi ulang air
tersebut. Kebayang kan, dari penghasilan perhari tersebut, betapa beratnya
Erwin untuk membiaya pengobatan matanya. Mungkin pun untuk biaya kehidupan sehari-hari
hanya bisa secukupnya. Terlebih, istri Erwin, hanya seorang ibu rumah tangga.
Tak beberapa lama setelah kita
berbincang di ruang depan rumah Erwin, anak Erwin satu-satunya, pun keluar dari
dalam kamar. Si bocah kecil langsung duduk santai dipangku oleh ayahnya, Erwin.
Saya pun menyempatkan berbincang santai dengan bocah tersebut.
“Santo”
“Udah sekolah?”
“Udah”
“Kelas berapa?”
“TK”
“Emang umurnya berapa?”
“6 tahun” sambil dirinya
mendirikan jari berjumlah 6
Erwin pun memotong pembicaraan
kami, sambil melanjutkan kisahnya. *take a deep breath siap-siap buat baca
kelanjutannya yah, pasti readers akan terenyuh seperti saya.
Erwin bercerita, untuk biaya
sekolah (TK) Santo, sebulan menghabiskan sekitar Rp 150,000. Uang sebesar itu adalah
untuk biaya Taman Kanak-kanak dan biaya belajar mengaji-nya. Lokasi Santo
belajar pun dekat dengan rumah Erwin, supaya tidak memakan biaya transport lagi
sepertinya. Hanya perlu berjalan kaki untuk mencapai sekolahnya. Seketika Erwin
menangis, menitikkan airmatanya. Saya pun terdiam. Speechless. “Yang saya
pikirkan hanya anak ini. Santo. Saya harus berjuang buat Santo. Biarpun saya
susah, Santo nggak boleh putus sekolah. Santo harus sekolah tinggi, nggak kaya’
saya”, begitu ucap Erwin dengan nada yang terbata-bata. Nggak tega juga sih ya,
saya ngeliat Erwin nangis begitu. Terenyuh banget. Erwin, walaupun hidup
pas-pasan, tapi bersemangat untuk menyekolahkan anakknya. “Tahun ini Santo
masuk SD, makanya saya harus kerja keras biar Santo bisa sekolah”, lanjut
Erwin. Well, Cuma bisa kasih semangat buat Erwin, semoga cita-cita Erwin buat
menyekolahkan Santo bisa terlaksana.
Setelah Erwin selesai
menceritakan kondisinya, akhirnya kami pun menyampaikan tujuan dan maksud
berkunjung ke rumah Erwin. Saya, sedikit memulai pembicaraan tersebut, sampai
pada akhirnya rekan-rekan semua yang berkunjung ke rumah Erwin saling
menambahkan maksud dan tujuan kedatangan tersebut. Termasuk di dalam
pembicaraan tersebut juga adalah supaya Erwin tidak salah paham dengan maksud
penggalangan dana ini. Tidak kalahnya juga dengan dukungan moril kepada Erwin,
supaya Erwin bisa berobat sampai tuntas dan bisa beraktivitas seperti semula.
Mudah-mudahan dengan niat yang tulus ini, semua proses dan jalan diberikan
kemudahan oleh Allah, SWT. Aamiin. Kami semua disana, termasuk teman-teman yang
tidak bisa hadir, menginginkan kesembuhan mata Erwin, agar dirinya bisa melihat
kembali dengan sebaik mungkin.
Setelah Erwin dapat bernafas
sedikit lega mengenai bantuan dari rekan-rekan dan kerabat maupun ada beberapa
yang tidak mengenal dirinya, Erwin kembali resah. “Tapi gimana kerjaan nanti ya?
Kan saya juga harus bekerja, tapi kalau harus anter dan angkat galon kembali,
gimana nanti mata saya?”, pertanyaan terlontar dari Erwin. Kembali, kami semua
disitu menyemangati Erwin. “Tenang Win, ini dulu disembuhkan. Nanti kalau sudah
sembuh, baru kita bicarakan lagi, mengenai pekerjaan dan masa depan. Tapi
matanya biar diobatin dulu ya...”, salah satu dari kami berujar demikian. Yah, memang
tidak dapat disangkal, dimana-mana, pasti pancingan lebih dibutuhkan daripada
memberikan seekor ikan. Tapi saya yakin, Allah Maha Segala-galanya, diriNya
akan memberikan jalan keluar yang baik dan terbaik untuk Erwin.
Diujung pembicaraan, kami
mendiskusikan beberapa hal yang perlu ditempuh oleh Erwin dalam rangka
pengobatan matanya tersebut. Mulai dari periksa kembali ke dokter, urus
surat-surat yang penting dari pejabat setempat, dan lain-lainnya. Tapi pada
intinya, kami dari rekan-rekan Erwin, peduli dengan kesehatannya.
Erwin dan keluarga |
Rasa hangatnya kebersamaan sangat
terasa diruangan yang kecil tersebut. Walaupun kami sudah berpisah sekolah
selama hampir 16 tahun, tapi pada saat kami berkumpul, seperti tidak ada waktu
yang memisahkan. Syukurlah, saya mempunyai teman yang masih peduli dengan teman
lama. Masih sangat peduli dengan rekan kecil.
Setelah 90 menit kami larut dalam
pembicaraan, tiba kini saat kami berpamitan setelah sebelumnya kami
menyempatkan berfoto dengan keluarga Erwin. Hari itu hari Sabtu, masih banyak
mungkin keperluan yang harus dipenuhi oleh kami semua karena di hari kerja
tidak sempat melakukannya. Satu persatu berpamitan kepada Erwin, sambil tak
lupa memberi semangat kepada Erwin.
This is it, setelah belasan tahun terpisah |
Readers, dari pertemuan saya
bersama dengan rekan-rekan alumni seangkatan bersama Erwin, saya sedikit bisa
mengambil pelajaran hidup yang amat sangat berguna. Teman ternyata tidak hanya
sekedar teman, tapi teman adalah saudara. Bayangkan, Erwin yang “hanya” teman
kami semasa SMP, tapi kita bisa kembali erat. Maka dari itu, benar sepertinya
pepatah yang pernah disampaikan kepada saya melalu bapak saya. Begini katanya, “Punya
seribu teman itu kurang dan punya satu musuh itu belerbihan”. See kan, dalam
keadaan seperti ini, ternyata punya teman itu sangat bermanfaat. Bukan berarti
memanfaatkan lho yak! Itu udah beda lagi urusannya. Hihihihi.....
Okey, demikian yang bisa saya
share disini megenai Erwin pada saat kunjungan kami di rumah Erwin. Nantikan
share saya selanjutnya ya, di episode berikutnya.
No comments:
Post a Comment