Selamat Ulang Tahun TNI ke-66, ya... |
Hari ini lho, 5 Oktober 2011, Tentara Nasional
Indonesia berulang tahun. Saya pasti inget tanggal ini, soalnya tepatnya
sebulan banget sebelum tanggal lahir bapak saya di 5 November. Kadang suka
kebalik-balik malah. Yang Oktober itu ultahnya TNI apa bapak ya? Nah yang
November, ultahnya siapa? Hayaaah... #pusing jadinya.
Kenapa siyh, saya selalu inget tanggal ini?
Kenapa jadi inget tanggal lahir TNI ya? Begini ceritanya...
Bapak saya, mengabdi sebagai tentara dan bergabung
dengan militer Republik Indonesia sejak tahun 1965 (kalo nggak salah. Kalo
salah ya maap). Setelah sebelumnya bapak
bekerja menjadi guru di Magelang (kota kelahiran bapak) dan sempat menjadi
pegawai Bank (yang gajinya besar sekali pada waktu itu – kata bapak, lho).
Entah mengapa, mungkin emang panggilan jiwa kali ya, akhirnya bapak memutuskan
untuk bergabung menjadi anggota militer.
Tanpa masuk ke Akademi Militer yang berada di kota Magelang (walaupun satu kota
dengan daerah asalnya), bapak tetap memilih menjadi seorang tentara. Kalo
bahasa Melayu-nya : Laskar!
Okey, sedikit saya bercerita bagaimana enak
dan tidak enaknya menjadi anak seorang tentara. Jangan salah, ya... Beneran
lho, jadi anak tentara itu ada enaknya, tapi kadang ada juga nggak enaknya.
Secara banyak yang bilang, enak jadi anak kolong! Ehehe, sampe sekarang saya
nggak tau dari mana sejarahnya itu ada istilah anak kolong.
Di umur saya
2 minggu, dan terlahir menjadi anak tentara...
Saya sudah ditinggal sekolah ke luar negeri
sama bapak saya sejak saya umur 2 minggu. Kata bapak, masih bagus bisa
ditungguin lahir (duh, kasiyan amat saya lahir tanpa kehadiran seorang bapak)!
Wkwkwk, ternyata usut punya usut, si bapak tadinya direncanakan berangkat 2 minggu
sebelum saya dilahirkan. Which is, kalo jadwal itu tepat, ya si ibu lahiran
tanpa didampingin suaminya alias bapak saya. Akh, untung banget ditunda
keberangkatannya. Allah emang baek bener deh, jadi juga saya lahir diliatin
bapak! Tapi ya itu, umur 2 minggu, bapak berangkat ke Amerika untuk sekolah
selama 6 bulan. Well done, si ibu berarti berjuang mengurus bayinya yang masih
orok ini (baca: saya) beserta kedua abang saya. Good job, mom!
Di umur saya
2 tahun...
Kebetulan si bapak mendapat tugas luar kota
lagi (untungnya masih di Indonesia). Tugas luar kota kali ini, bapak
ditempatkan di Tanjung Pinang. Menurut cerita yang didapat dari bapak, di jaman
itu perang Vietnam sedang marak. Akhirnya banyak warga Vietnam yang eksodus.
Mereka pada kabur dari negaranya untuk menyelamatkan diri. Kaburnya pada pake
kapal kecil-kecil, yang entah kemana rimbanya. Nah, sebagian besar dari mereka
menuju ke Pulang Galang ini, pulau yang berada di Kepulauan Riau. Jumlah
pengungsinya banyak sekali, sampai-sampai di Pulang Galang itu dibikinkan Rumah
Sakit, sekolah, tempat ibadah, dan fasilitas umum lainnya. Nah, tugas bapak
saya disana adalah menjaga keamanan di Pulang Galang tersebut. Selama bapak
bertugas, nggak boleh bawa keluarga. Yahelaaah, berarti ibu, mas-mas saya, dan
saya harus stay di rumah Jakarta.
Palingan juga bapak yang suka bolak balik ke Jakarta untuk nengokin istri dan
anak-anak tercintah! Wedewww...
Kurang lebih selama setahun, aku ditinggal
bapak yang bertugas di Pulang Galang. Hohooo, jangan dipikir nggak ada kejadian
yak! Jangan dipikir everything is fine
yak...
Know what...? Suatu hari ketika bapak pulang
ke rumah Jakarta, anak bapakku yang paling kecil (saya, gitu...) menyambut
dingin kehadiran sang bapak. Dipikirnya orang yang datang bukan bapaknya. Maklum,
namanya juga anak kecil yang kadang masih suka inget kadang lupa. Oke, sambutan
dingin dari sang putri tampaknya masih dapat ditoleransi oleh sang bapak.
Drama berikutnya adalah ketika sang bapak mau
menggendong putri satu-satunya, dan sang putri pun menolak mentah-mentah ajakan
gendongan sang bapak. Mantab! Udah disambut dingin, sekarang ogah digendong
sama bapaknya sendiri. Oh Tuhaaan, jikalau mungkin aku bisa melihatnya
langsung, aku pasti akan bersujud ampun sama bapak... hihihi, sayang aja we couldn’t turn back the time.
Next, setelah sambutan dingin dan penolakan
untuk digendong bapak, akhirnya bapak menyerah. Mungkin masih penasaran, Bapak
merayu anaknya dengan sebuah permen manis (hmmm, kaya saya yang manis ini #eh
kok narsis). “Ini permennya buat Mona...”
kata bapak sambil menyodorkan permen di tangannya. “Terima kasih ya, Om...” balasku kepada bapak. Iya, donk, ibu kan
selalu ngajarin untuk bilang terima kasih sama orang yang memberikan kita
sesuatu. What?!?!? Om? Bapaknya sendiri dipanggil Om? Godness... (ini harus
ketawa apa sedih ya?) Huhuuu, yang saya denger dari cerita ibu, si bapak
seketika terkaget, terperanjat dan sedikit sedih mendengar anaknya sendiri
memanggilnya dengan “Om”. Yah, mungkin memang karena saya yang masih kecil dan
belum mengerti kalo itu bapaknya sendiri. Saking lama ditinggal bapaknya dinas
dan jarang ketemu, makanya saya lupa sama bapak saya.
Semenjak kejadian itu, bapak selalu
menghindar untuk tugas luar kota dalam jangka waktu yang agak lama. Klasik
mungkin alasannya : daripada anak nggak kenal sama bapaknya. Beruntunga ya,
bapak punya atasan yang mengerti akan situasi seperti ini.
Di umur saya
5 tahun...
Tepat di hari ulang tahun bapak ke 43, kami
sekeluarga hijrah ke negeri jiran, Singapura. 5 November 1986, Bapak
menjalankan tugas yang diberiken pak
Komandannya untuk menjadi staff Atase Pertahanan di negeri yang dipimpin si
tangan besi, Lim Swi King! Eh salah. Nama presidennya, Lee Kuan Yew (ngebodor nggak penting di marih). Karena
tugas kali ini tugas yang setidaknya selama 3 tahun dan bapak nggak bisa pulang
pergi Singapura - Jakarta, akhirnya kita boyongan sekeluarga. Mas-ku yang
paling besar waktu itu kelas 1 SMP, mas-ku yang nomor 2, kelas 6 SD (panik mau
Ebtanas), dan saya sendiri masih TK 0 (nol) besar alias TK di tahun kedua.
Pindah ke Singapura, tanpa ada sanak saudara
ataupun kenalan, membuat kehidupan seperti benar-benar baru. Untuk sementara
waktu, kami sekeluarga mendapat pinjaman rumah di komplek perumahan kedutaan
RI. Tapi untuk selanjutnya, kami tidak tinggal di kompleks tersebut. Katanya
sih, nggak dapet jatah. Yo wes lah, nggak ikutan kalo masalah itu...
Gimana cerita jadi anak tentara selama di
Singapura?
Nggak terlalu banyak istimewanya, selain bisa
dikatakan juga hampir nggak kenal sama bapak! Halaaah, lagi-lagi... Menjadi
anak tentara di negeri ini membuat saya jarang bertemu dengan bapak saya
sendiri. Gimana mau deket sama bapak? Saya berangkat sekolah pagi-pagi, bapak saya
masih tidur. Dan ketika saatnya saya tidur, bapak saya belum pulang! Ooh bapak,
taukah bahwa anakmu ini rindu padamu? *prikitiiiwww. Sabtu dan Minggu juga
jangan harap bisa pergi sama bapak, secara kadang di hari libur ini banyak tamu
dari Jakarta yang minta ditemenin sama bapak. So that’s why, bapak nggak pernah janji sama kita-kita yang di
rumah untuk pergi ke suatu tempat di hari libur. Soalnya ya itu, suka ada tamu
dari Jakarta. It’s okay, dad... masih ada ibu kok, yang nemenin kita-kita
berlibur.
One day, bapak ulang tahun (lupa tahun
berapa). Kebetulan, di hari itu, bapak berangkat subuh karena ada pekerjaan
mendesak. Jadi pas saya bangun, nggak bisa ngucapin Selamat Ulang Tahun buat
bapak. Handphone? Belom jamannya, boook! Handphone jaman itu masih barang
langka banget dan kalo ada juga yang bentuknya masih segede batu bata. Nungguin
bapak pulang mau ngucapin Selamat Ulang Tahun? Mission Impossible part 13, yang
artinya nggak mungkin dilakukan, secara saya besok harus sekolah dan masuk pagi
dan si bapak pasti pulang malem banget. Hmmm, demi dan demi mengucapkan tepat
di hari ulang tahun bapak saya, akhirnya saya mengambil selembar karton besar
dan saya lukis di karton itu, “SELAMAT ULANG TAHUN BAPAK”. Saya pasang karton
ucapan itu di jendela dekat pintu masuk apartment kita. Maksudnya supaya bapak
baca pas masuk rumah. Oh dear God, I love my dad so much. Keep blessing him ya
Allah... *serial mewek.
Hmmm, gitu degh, nasib jadi anak tentara
selama tinggal di negeri orang. Sebenernya sih masih banyak lagi cerita-cerita
lainnya. Tapi kali ini saya ceritakan yang itu dulu ya...
Di umur saya
11 tahun...
Akhirnya, setelah hampir 6 tahun bapak dinas
di Singapura, kita sekeluarga kembali lagi menetap di Jakarta. Tahun 1992,
bapak menyelesaikan tugasnya dan kembali mengantor di Jakarta. Wahaaa, cerita
baru dimulai lagi. Iya kan, kita harus penyesuaian lagi sama lingkungan
sekitar. No problemo. Let’s start the
new life with daddy and mommy.
Nggak terlalu banyak kejadian lucu semenjak
kita pindah ke Jakarta. Ya, palingan hanya cerita seputaran kesal membara kalo
jadwal piket bapak yang jatoh di hari Sabtu atau Minggu atau Public Holiday.
Huuu, pengen jalan-jalan jadi batal gara-gara bapak piket!
Tahun 1996,
Lebaran pertama tanpa bapak yang harus tugas ke Irian...
Pernah denger yang namanya GPK (Gerakan
Pengacau Keamanan) yang di Irian dan mereka menyandera warga asing? Hoooh, ini
kejadian membuat bapak kembali dikirim tugas ke Irian, tepatnya Timika.
Berhubung alat untuk mencari lokasi penyanderaan ini dipinjem dari Militer
Singapura, akhirnya bapak kebagian tugas juga untuk ambil alat dari Singapura dan
kirim ke Timika (jangan bayangin bapak enak naek pesawat komersial yak, secara
bokap dari Singapura naek pesawat hercules sampe ke Timika, cuma transit Bali.
#ngok). Sedihnya, moment ini bertepatan dengan Lebaran Idul Adha di tahun 1996
(barengan juga sama wafatnya ibu Tien Soeharo). Yah, sedih banget deh Lebaran
nggak ada bapak. Secaraaa, ini pertama kali lebaran jauh dari bapak.
Tahun 1997,
usia saya 16 tahun...
Akhirnya, di tahun ini bapak memasuki masa
pensiun. Harusnya sih tahun 1998, tapi karena secara administrasi katanya ada
kesalahan tulis (which is kelahiran bapak jadi ditulis tahun 1942), makanya
tahun ini bapak pensiun. Hihihi, kita di rumah menyambut senang dengan masa
bapak pensiun ini. Yoyoooy, berarti bapak sudah lepas tanggung jawab untuk
ngurusin negara ini. Hadeeeh *lap keringet pake tissue
Well, om tante mba mas dan semuanya, pesan
bapak saya setelah pensiun begini, “Kuliah yang bener nanti ya, harus disadari
bahwa kamu anak pensiunan lho, bapaknya udah ngga full terima gaji. Sekolah
yang bener, biar cepet lulus. Jangan lama-lama kuliahnya” Ok daddy, I promise.
Kuliah bener-bener dah, biar cepet lulus, cepet cari duit buat nyenengin bapak
ibu (sah elaaah, gaya bener dah!)
Ada cerita seru di fase ini. Which is, di
umur 17 tahun, di saat saya sudah diperbolehkan mengendarai kendaraan bermotor
(baca: punya SIM), saya terkadang suka ditilang sama polisi. Bingung juga siyh,
salah apa yah, sampe di tilang? Huhuuuy, begini enaknya jadi anak tentara,
punya SIM dengan alamat Komplek Hankam! Hohooo, SIM Sakti! Polisi pun langsung
urung nilang saya ketika membaca alamat di SIM saya. Eh lagian juga saya yakin,
sebenernya saya nggak salah. Gini-gini, biar kata anak tentara, bapak saya
selalu ngajarin nggak boleh sembarang kalo bawa mobil. Wong saya juga disekolahken setir mobil dulu kok, biar
ngerti aturan berlalu lintas. Jadi, saya nggak mau nyalahin aturan lah. Kata
bapak, anak tentara harusnya jadi contoh! Sakseeeis ya bu, selama dari tahun
1998 punya SIM A, eike nggak pernah urusan di tilang.
Inilah kami sekeluarga... |
Naaah... gitu degh, cerita seputaran jadi
anak tentara. Jadi gimana menurut pemirsa sekalian? Enak? Nggak? Enak? Nggak?
Keputusan saya kembalikan kepada sodara-sodara yah... Hihihi.... Tapi sebenernya bukan masalah enak nggak enaknya, tapi ya perlunya mengikhlaskan diri untuk jadi anak tentara. Hoalaaah, bahasanya apa coba?
No comments:
Post a Comment