Kembali lanjut cerita tentang
Erwin ya pemirsah. Setelah sekian lama break mengenai cerita mata Erwin, mari
saya share kembali bagaimana perjalanan pengobatan mata Erwin.
Setelah pertemuan dengan Erwin
bersama beberapa teman-teman SMP yang dilakukan langsung di rumah Erwin, saya
meminta Erwin untuk kembali ke dokter untuk memeriksakan kondisi matanya,
bagaimana tahap selanjutnya, apa yang harus dilakukan oleh Erwin. Tapi Erwin
langsung bilang ke saya agar dirinya didampingi pada saat ketemu dokter mata
tempat dirinya berkonsultasi. Rasanya Erwin kurang pede untuk bertemu dokter,
soalnya banyak yang harus ditanyain ke dokter seperti permasalahan pembiayaan
pengobatan dan operasi mata kiri yang bermasalah itu. Saya pun menawarkan
kepada teman-teman di group Blackberry dan di Facebook. Hanya ada beberapa saja
yang bersedia. Tak mengapa, mungkin sedang berhalangan. Sementara saya sudah
saya niatkan untuk mendampingi Erwin. Bersyukur, suami saya pun bersedia
mendampingi saya.
Sabtu, 04 Februari 2012...
Jam 09.00 pagi janjian sama Erwin
dan Hadi di Klinik Mata Mayestik. Beruntung, saya sudah hafal dengan lokasi
klinik tersebut. Jaman dahulu kala, ketika masih suka numpang bapak ibu
jalan-jalan (selagi masih jadi anak bawang), daerah Mayestik sudah saya kenal,
jadi nggak perlu cari-cari lagi degh. Saya dan pak suami telat sedikit tiba di
klinik tersebut. Maklum, ibu-ibu kalo sudah pagi ya urusannya banyak. Hihihiii,
belanja ke pasar, urus bocah, urus rumah, dan segambreng kegiatan lainnya #eh
kok malah curhat. Setibanya disana diriku sudah disambut Hadi di depan klinik.
Klinik tersebut pasti pada awalnya peruntukannya adalah rumah, kemudian
dialihfungsikan untuk klinik. Terlihat sekali konstruksi rumah masih berasa di
klinik tersebut. Szaaah, naluri anak kuliahan arsitektur masih berbicara.
Ketika saya masuk, Erwin sedang
diperiksa oleh suster klinik. Memang begitu prosedurnya, sebelum diperiksa oleh
dokter, harus diperiksa oleh suster. Ada seperti obat tetes mata yang harus
diberikan ke pasien sebelum diperiksa oleh dokter. Mungkin biar steril kali yah,
mata Erwin. Sempat ada kejadian konyol juga sih pas saya nyari-nyari Erwin.
Secara Hadi menginformasikan kepada saya, bahwa Erwin sedang diperiksa. Lah,
saya langsung ngacir nyari Erwin donk, biar ketemu sama pak dokter. Kan pengen
tau juga, hasilnya bagaimana, kemudian kedepannya harus bagaimana? Bertanyalah
saya kepada si suster di depan, “Sus, pasien Erwin Suryahadi ada di ruangan mana
ya? Saya mau dampingin, sus.” Si suster langsung nunjukkin tempat Erwin berada
dan saya pun langsung masuk. Begitu masuk ruangan itu, langsung saya ditegur
sama suster yang ada disana, “Mau ngapain mba? Udah dipanggil belum? Tunggu aja
di luar!” Hahahaaa, aseli degh tengsin banget sayah! Salah kamar, ya pemirsah.
Walaupun Erwin sedang diperiksa di sana, tapi saya belum waktunya untuk
mendampingi Erwin. Nanti pas diperiksa sama pak dokter, baru saya boleh
dampingi. Tak apalah, buat pelajaran saja, besok-besok kalo mau tau tanya dulu
detailnya ya, periksa apa. Jangan slonong boi aja yak! Hihihihi
Setelah Erwin diperiksa oleh para
suster, akhirnya Erwin dan saya beserta Hadi dan pak suami saya duduk di ruang
tunggu klinik. Cukup lama juga kami antri di klinik ini, kurang lebih selama 2
jam. Ngobrol sana sini sama Erwin, Hadi dan pak suami saya menjadi salah satu
kegiatan saya menunggu. Ada tivi juga lhi di ruangan tunggu itu, tapi
sepertinya lebih menarik untuk ngobrol. Sepertinya juga karena hari Sabtu, pengunjung
klinik agak ramai, menurut Erwin kalau hari kerja tidak seramai itu. Tua dan
muda ada di klinik ini. Nah, pas nunggu antrian ini, banyak yang saya
perhatikan lho. Ada yang lucu, ada yang haru...
Coba lihat foto di bawah ini...
Nenek yang di kursi roda ini lho... |
Ada
seorang nenek yang duduk di kursi roda. Kalau dilihat dari penampilannya,
mungkin usia sang nenek berkisar diantara 75-an, mungkin bisa juga lebih. Hal
apa yang membikin saya menarik untuk mengabadikan nenek ini? Nenek ini
mengingatkan pada eyang putri saya semasa hidupnya. Si nenek ini ternyata
menyirih lho, beigtu juga dengan almarhumah eyang putri saya. Wah, di zaman yang
sangat modern ini, si nenek masih melakukan ritual menyirih. Widiiih, salut
sama si nenek ini. Hari gini, pasti yang jualan daun sirih, inang, nggak banyak
lagi degh, tapi si nenek masih dapet aja stock nyirih ya? Dapet dari mana ya
nek, stock-nya?
Majalah... majalah... |
Nah, yang di atas ini tumpukan majalah yang habis saya baca semasa nungguin antriannya Erwin. Lumayan
lah, walaupun majalah udah lama, tapi ada yang bisa dibaca.
Yak, ini yang konyol lagi. Liat
kan, ada dua wanta muda yang duduk di dekat railing tangga itu? Si mba’ yang paling
sebelah kanan itu lagi nahan sakit mata karena iritasi pemakaian soft lense.
Antara mau ketawa sama sedih sih, abisnya konyol banget pake soft lense sampe
iritasi gitu. That’s why diriku nggak pede pake soft lense. Ya gini ini, takut
akibatnya. Selama 21 tahun saya pakai kacamata, hanya sekali saja saya paki
soft lense, yaitu waktu hari pernikahan. Itu pun sudah di paksa sama ibu perias
pengantin, katanya, “Ya masa’ udah dandan cakep-cakep masih pake kacamata?”
Hmmm, baiklah bu, softlense lah saya. Nah, kalo si mba’ yang ini, entah apa ya,
dia pake soft lense itu. Well, besok kalo pake soft lense, ati-ati ya mba’. Itu
mata lho mba’, panca indera pertama kita. Bukan apa sih, kasiyan banget liat si
mba’ ini, menahan sakitnya mata. Saking sakitnya sampe nggak bisa jalan. Saking
sakitnya, si suster nyuruh untuk istirahat dulu aja. Nggak bisa diperiksa,
soalnya itu urat syaraf lagi pada tegang semua kali ya? Hihihi...
Aduh mba, sakit yah? :( |
Kira-kira pukul 11.30, akhirnya
Erwin di panggil untuk masuk ke ruangan periksa dokter. Saya pun ikut
mendampingi, beserta Hadi. Erwin duduk di kursi pemeriksaan mata. Sementara
saya dan Hadi duduk di kursi yang berada di depan meja pak dokter. Lampu
ruangan dimatikan lho, soalnya pak dokter meriksanya pakai lampu yang
dipakaikan di kepalanya. Entah apa itu namanya. Setelah pak dokter periksa mata
Erwin, kurang lebih 10menit, akhirnya lampu ruangan dinyalakan kembali. Pak
dokter menjelaskan bahwa memang ada syaraf mata Erwin yang putus, sehingga
penglihatan Erwin terganggu. Solusinya adalah ya operasi.
Ruang Periksa yang sebelah kiri... |
Erwin sempat ngomong, “Ya saya
sih siap aja dok kalau memang harus operasi. Sekarang tergantung dananya.
Soalnya saya nggak membiayai sendiri. Ini teman-teman saya yang bantuin dana
operasi”. Pak dokter nggak hanya menanggapi, “Heran, biasanya kalau disuruh
operasi pada nggak mau lho. Pada mundur. Ini semangat yah, mau operasi? Hebat”.
Aiyh, jempol lah buat Erwin dan semangatnya. Kweceh ya Win!
Akhirnya saya pun turut
menanyakan beberapa hal kepada pak dokter. Yang saya tanyakan pun adalah
sebenarnya hal-hal yang sangat sederhana, tapi setidaknya saya perlu ketahui
demi kesembuhan Erwin. Pak dokter menjelaskan beberapa hal yang saya tanyakan,
diantaranya adalah (1) Operasi yang dilakukan adalah termasuk operasi besar,
karena lokasi syaraf itu berada di belakang bola mata. Nah, kebayang kan,
betapa sulitnya untuk melakukan operasi tersebut, (2) Resiko pasca operasi
tetap ada, tapi kita sebagai manusia tetap berusaha yang terbaik, (3) Biaya
yang diperlukan untuk operasi cukup besar, kurang lebih Rp 30juta, (4) Beberapa
cara tehnik pengoperasian yang bisa dilakukan untuk kasus Erwin, akan dicarikan
tehnik yang paling sesuai untuk Erwin, (5) Jangan lupa banyak berdoa kepada
Allah.
Dan pada sampai titik permasalahan
biaya ini lah, yang saya fokuskan bicara dengan pak dokter. Bukan apa ya...,
nggak perlu ditutupi lagi, bahwa memang operasi ini pastinya butuh biaya,
sementara biaya operasi untuk Erwin, ditanggulangi oleh rekan-rekan dan bukan
rekan Erwin. Saya pun akhirnya menjelaskan kepada pak dokter, bagaimana kami
menggalang dana untuk operasi Erwin. Pak dokter sempat terharu atas kondisi ini
sambil berujar, “Sudah terpisah belasan tahun, tapi masih peduli dengan
rekannya? Hebat kalian!” Alhamdulillah pak dokter, kami masih memiliki rasa
persaudaraan. Pak dokter kembali menerangkan, operasi bisa dilakukan di klinik
milik salah satu ormas agama yang berada di bilangan Grogol, Jakarta Barat.
Memang kalau disitu, hanya sewa tempat dan peralatan saja. Doaku dalam hati, “Semoga
tidak sampai Rp 30 juta, ya Allah”.
Okey, akhirnya kami sepakat untuk
melanjutkan pengobatan Erwin. Pak dokter pun menjelaskan, bahwa tahap pertama
dalam operasi mata kiri Erwin adalah dengan me-laser mata kanan Erwin yang
belum separah mata kirinya. Melalui pemeriksaan tadi, pak dokter bilang kalau
mata kanan Erwin gejala awal untuk terjadi seperti mata kiri sudah ada, makanya
lebih baik mata kanan dilindungi dulu, sebelum terlambat. Laser mata kanan bisa
dilakukan di klinik tersebut. Seminggu setelah pemeriksaan ini, bisa dilakukan
laser mata Erwin. Setelah laser mata kanan dilakukan, baru di bicarakan lagi
untuk operasi mata kirinya. “Kita lihat perkembangan yang mata kanan dulu ya”
ujar pak dokter. Siap dok, kita ikuti langkah pak dokter.
Kira-kira selama 30 menit kami
berdiskusi dengan dr. Isfahani, Sp.M, akhirnya kami pun harus keluar ruangan.
Selain memang karena yang dibahas sudah selesai, ya ada pasien lain yang
ngantri lho. Hihihihi, bisa diamuk massa kalau kelamaan ngobrol ngalor ngidul.
Oia, kami pun sempat disampaikan beberapa ayat suci Al-Quran oleh dokter yang
berusia sekitar 55 tahunan ini, betapa persaudaraan itu sangat penting.
Subhanallah ya dok, dirimu sudah pintar, sholeh pula. Thumbs up for you, doc!
Keluar ruangan dokter, saya
menyempatkan berdiskusi dengan Erwin, Hadi dan suami saya. Kami duduk di teras
klinik. Kesimpulannya, minggu depan setelah pemeriksaan ini, Erwin harus laser
mata kanannya terlebih dahulu. Mengenai biaya Rp 30 juta, akan dibicarakan lagi
dengan teman-teman. Allah pasti berikan jalan untuk umatnya yang berusaha. Man Jadda wajada, jika kamu
bersungguh-sungguh maka akan berhasil dan saya yakin dengan slogan ini.
Semangaaaat! Kalau sejauh ini sudah terkumpul Rp 10 juta, masa’ nggak bisa
ngumpulin Rp 30 juta sih? Ngamen dimana aja jadi deh, yang penting uang buat
operasi Erwin kekumpul.
Selesai diskusi, saya pun
menyerahkan uang kepada Hadi untuk biaya pengobatan laser mata Erwin. Ya, semua
uang memang saya serahkan ke Hadi, agar Erwin tidak pusing dengan pengaturan
uang ini. Biar tinggal bawa badan saja maksudnya. Kalau perlu uang, langsung
info kan ke Hadi. Kami pun kembali
pulang ke rumah masing-masing setelah diskusi itu. Lega rasanya, step awal
sudah dilakoni, tinggal melanjutkannya.
Nah, cerita part 2 sampai di sini dulu ya. Nanti sambung
lagi di part 3, biar bacanya nggak kepanjangan (baca: penulisnya lagi kehabisan
tenaga). Nanti di part 3 saya mau share, bagaimana perjuangan rekan-rekan saya
untuk ngumpulin dana buat Erwin, seru degh! Nah, sama sekalian saya akan share
juga, bagaimana laser mata Erwin. Be right back ya pemirsah...
No comments:
Post a Comment