2.04.2013

3 DERITA DI TRANSJAKARTA, AKHIR JANUARI 2013

Peta route koridor busway (pic taken from here)

Okey, saatnya berceloteh tentang pelayanan publik bidang transportasi yang namanya transJakarta. Udah pada tau kan, kalo transportasi publik (massal mungkin iya, tapi nggak rapid) di Jakarta itu adalah transportasi yang dibanggakan sama pak Gubernur Jakarta? Warganya dihimbau sekali banget untuk menggunakan tranportasi itu, daripada pakai kendaraan pribadi yang notabene bikin macet. Tapi, kali ini beneran saya nggak mau cerita mengenai konsep transJakarta itu seperti apa. Postingan ini bener-bener cuma mau cerita bagaimana pengalaman saya pakai jasa transportasi publik yang dibanggakan DKI 1 dan beberapa orang lainnya.

Let’s go to the point…

Kamis, tanggal terakhir di bulan Januari 2013, saya pulang menggunakan bus transJakarta. Naik dari halte Pecenongan, halte terdekat dari kantor saya, mampir di interchange Harmoni  serta Grogol dan tujuan akhir Slipi. Nah, kalau masalah koridor berapa ke berapa, saya nggak ngerti. Yang pasti pokoknya tujuannya begitu.

Alhamdulillah, antrian tiket di loket Pecenongan sama sekali tidak ada. Sampai halte, langsung beli tiket di loket. Tiket yang saya beli, masih tiket manual. Kenapa nggak pakai e-ticket kaya’ yang baru diluncurkan sama pak Jokowi? Nggak penting menurut saya. Secara nggak ada untungnya. Lha, pelayanan tiket transJakarta udah bagus kok. Nggak pernah ngantri. Jadi buat apa pakai e-ticket?

Setelah membeli tiket, masuk gate, akhirnya nunggu bus transJakarta di halte yang sisi Jl. Veteran. Nggak lama, bus transJakarta yang jurusan ke Harmoni datang. Naiklah saya. Waktu menunjukkan pukul 17.50 ketika saya naik bus menuju interchange Harmoni. Bus yang mengangkut saya ini berakhir di interchange Harmoni, mau tidak mau saya harus turun untuk ganti bus yang menuju Kalideres.

Kira-kira 5 menit dari halte Pecenongan, saya sudah sampai di interchange Harmoni. Turun, langsung menuju ke antrian koridor Harmoni – Kalideres yang berada di ujung utara interchange. Panjang juga antriannya, sekitar 30 baris. Setiap baris ada sekitar 3 orang penumpang. Di antrian koridor lainnya, tidak kalah penuhnya dengan antrian saya ini. Namun yang agak panjang dan tidak bergerak itu antrian koridor Harmoni – Lebak Bulus. Di interchange Harmoni itu, tampak hilir mudik orang-orang. Malah, ada beberapa yang sampai berlari-lari mengejar apa entah.

Selama mengantri bus yang akan mengangkut saya ke arah Interchange Grogol, saya sibuk dengan gadget saya. Headset pastinya nggak lepas dari kuping. Sambil denger radio, sambil liat timeline twitter atau kadang instagram, dan nggak luput juga dari memerhatikan situasi halte Harmoni, pokoknya sabar menanti di tengah ramai orang dengan udara yang panas (padahal di situ keliatan ada beberapa kipas angin, tapi satupun nggak ada yang muter itu baling-baling kipas angin – pajangan atau koleksi ya?) . Untungnya, antrian ini berjalan agak cepat. Tiap 5 menit, maju untuk melepas sekitar 10 baris tadi. Sampai pada akhirnya, saya berada di depan pintu halte itu sekitar pukul 18.10. Lumayan, antri sekitar 15 menit di interchange sih masih bisa diajak kompromi.

Ketika bus datang, saya masuk dan menuju ke area khusus wanita di bagian depan. Tidak dapat tempat duduk karena memang ramai sekali penumpang. Ya maklum saja, jam pulang kantor pasti ramai. Lagipun, Harmoni – Grogol tak seberapa jauhnya (hanya melewati 1 halte ; Sumber Waras). Gadget dalam genggaman saya setidaknya akan setia menghibur saya selama perjalanan, walau dengan kondisi berdiri dan sedikit berdesakan dengan penumpang lainnya.

Ketika bus mulai berjalan dari interchange Harmoni menuju Jl. Hasyim Ashari, saya sudah siapkan mental untuk menerima kenyataan pahit, yaitu macet. Maklum yah, ini ruas busway tidak steril. Banyak mobil pribadi yang masuk jalur busway, tapi nggak ditilang sama pihak berwajib. Belum lagi perempatan ke Jl. Sangaji, Jl. Cideng, dan Jl. Biak, macetnya nggak nahan (selalu ngunci deh itu perempatan). Dan bener aja kan, baru masuk Jl. Hasyim Ashari, langsung berhenti total. Macet. Okeylah, tidak apa-apa, memang sudah begitu adanya, mau apa lagi? Bersyukur donk, masih punya gadget yang setia nemenin perjalanan. Mudah-mudahan aja baterainya kuat dan tidak habis selama perjalanan.

Waktu menunjukkan pukul 18.30, masih belum sampai di pusat kemacetan pertama, perempatan Jl. Sangaji yang tandanya baru jalan sekitar 100 meter dari mulai masuk Jl. Hasyim Ashari. Belum selesai hati ini tersakiti karena macet, kenyataan pahit kedua datang dengan tidak sopannya menghantam penumpang transJakarta. AC bus yang saya naikin, mulai panas. Nah loh, bener aja, ternyata AC bus mati! Ya Allah, mau jadi apa ini penumpang di dalam bus? Penumpang udahlah penuh, jalanan macet tidak bergerak, AC bus mati pula? Hastaaagaaah… Aseli deh, keringet saya mulai ngucur dan saya pun mulai kegerahan. Ada penumpang perempuan yang kebetulan bawa kipas, dirinya berkipas dan bersyukur saya kebagian anginnya, walaupun tetap terasa pengap.

Petugas transJakarta yang selalu berada di dekat pintu bus, menginformasikan kepada kami, bahwa AC bus mati dan perjalanan bus akan berakhir sampai di halte Sumber Waras. Beberapa penumpang ada yang mulai mengeluh, karena  pun mau sampai ke halte Sumber Waras bisa sampai 1 jam sendiri mengingat macetnya seperti itu. Petugas tampak tidak menggubris keluhan penumpang. Yang saya perhatikan, petugas sibuk menelfon (entah kemana?) dan memberikan informasi kepada lawan bicaranya disana, bahwa bus yang dirinya naiki sedang mengalami gangguan teknis AC. Sedikit yang saya ingat pembicaraannya adalah; “Ini bus gw ACnya mati. Penumpang gimana mau evakuasi, orang macet begini? Tapi mau evakuasi juga halte Sumber Waras masih jauh, macet juga”

Pukul 18.45, bus dengan nomor armada TB 113 beneran mulai pengap, karena sumuk sekali di dalam bus itu. Ya gimana nggak sumuk, penumpang bus penuh, tanpa dapat udara segar? Berebut udara bersih kami yang berada di dalam. Saya sempat meminta untuk membuka pintu bus yang di bagian tengah, agar kita mendapat udara segar. Namun permintaan saya tidak digubris oleh petugas. Beneran deh, udah mulai emosi saya dengan situasi yang begini. Petugas apa nggak ngerti ya, kalo kondisi tertutup rapat gitu jadinya sumuk? Yailah, mas… situ mau mati lemas kah? Ya nggak usah ngajak-ngajak saya kalo gitu sih, mati ya mati aja sendiri.  Tapi syukurlah, akhirnya pintu bagian tengah yang disebelah kanan, dibuka juga sama pak supir. Lumayan, dapet udara segar. Kalo ada mobil lewat, malah angin sepoi-sepoi masuk. Aman…

Pukul 19.10, lokasi bus sudah sampai di sekitar perempatan Jl. Cideng. Pintu darurat bus bagian depan dibuka oleh pak supir. Sekitar 4-5 penumpang di bagian depan turun untuk pindah ke bus belakang (atau mungkin ganti moda transportasi?). Apakah itu bagian dari evakuasi penumpang? Nggak jelas sama sekali. Nggak ada pengumuman apa-apa dari petugas dan supir bus. Saya sendiri memilih untuk bertahan di bus itu dengan pertimbangan pintu bus bagian tengah dibuka. Memang tidak sedingin memakai AC, tapi lumayan banget setidaknya nggak sumuk. Eh tapi ya, abis itu pintunya ditutup lagi loh. Yahilah bang, et dah baaaang (X_X). Panas bang, gerah, sumuk!!!

Petugas mulai sibuk lagi telfon dengan entah siapa. Kali ini terdengar dari pembicarannya bikin saya nyolot banget. Gimana nggak mau marah, kalo terdengar pembicaraan seperti ini, “Iya, penumpang pada nggak mau dievakuasi. Pintu depan udah gw buka, penumpang pada nggak mau pindah. Ya udah, ini pintu tengah gw tutup aja lagi” Hehhh???!!! Kapan dia umumin sama penumpang kalo pintu depan dibuka dan bisa pindah ke bus belakang? Buseeet, nyolot abis! Nggak pake aiueo, saya langsung ngemeng, “Mas, kapan diumumin ke penumpang kalo pintu depan dibuka dan penumpang boleh pindah? Diumumin juga nggak! Gimana penumpang mau tau kalo pintu depan dibuka????!!!” Iysh, beneran nyolot deh. Dan akhirnya pintu depan diminta dibuka kembali sama petugas ke pak supir. Langsung petugas ngomong, “Bagi penumpang yang mau pindah ke bus belakang, silahkan turun melalui pintu depan”. Langsung setelah pengumuman itu keluar, sekitar 15 penumpang bergegas turun, pindah ke bus lainnya. Lumayaaan, makin longgar deh bus ini. Setidaknya makin sedikit rebutan udara bersihnya.

Lanjut lagi dengan kemacetan, kesumukan, tapi masih bersyukur nggak mati gaya dengan adanya gadget saya yang bisa facebook-an, twitter-an, instagram-an, whatsapp-an, dan dengerin musik…

Eh tapi ya, sekitar 5 menit setelah pintu depan itu ditutup kembali, ada seorang ibu-ibu paruh baya yang meminta kembali kepada petugas untuk membukakan pintu di depan, karena dirinya baru saja berubah pikiran. Si ibu menyampaikan kepada petugas agar dapat membukakan pintu di depan karena ternyata harus tiba di tempat tujuan secepat mungkin dan tidak mungkin kalau ngarep nungguin jalanan ini. “Saya mau ganti ojek aja, mas. Saya nggak punya waktu lama”, begitu ujar si ibu kepada petugas transJakarta. Namun permintaan si ibu dimentahkan oleh petugas dengan alasan, “Saya nggak bisa menurunkan penumpang kalau nggak di halte, bu”. Eh ya ampyun deh, bwaaang. Ini kan keadaannya begini. Sekali lagi ya, udah jalanan macet, AC bus mati pula. Orang kan punya kepentingan juga kali bang… Si ibu kemudian berbicara agak keras, “Mas saya nggak main-main ya. Saya serius. Saya harus ganti ke ojek. Saya ngejar waktu”. Setelah si ibu maksa begitu, si petugas jawab dengan lantangnya, “Makanya, kalo jam segini jangan naek busway. Ini koridor Roxy. Macet banget, crowded selalu. Nggak usah pake busway kalo jam-jam segini” Jdeeeeeng!!! 
Kaget bener saya denger si mas ngomong begitu.

Ikut termakan kesel sama ucapan si mas, akhirnya saya pun ikutan berkoar. “Eh mas, tau nggak kalo moda transportasi transJakarta ini adalah moda transportasi yang diandalkan sama pemerintah daerah Jakarta. Tau nggak, kalo masyarakat diminta untuk pake transJakarta dan diminta untuk meninggalkan kendaraan pribadi? Tau nggak, mas? Kok sekarang si mas malah ngomong gitu? Itu kan tandanya si mas nggak ndukung program pemerintah!” Si mas hanya bisa terdiam dan terdiam. Aseli saya kesel banget sama ucapannya itu. Nggak sepatutnya dia sebagai petugas transJakarta ngomong begitu donk… Itu kan kontradiksi banget.

Setelah itu, akhirnya si ibu diperbolehkan turun melalui pintu depan. Itu pun setelah petugas menyerahkan keputusan untuk membuka pintu depan kepada pak supir. Ish, capek deh mas, ya gitu aja sampe ribet banget. Bener kata ibu penumpang yang duduk di depan saya. Katanya, “Mas ini, udah keadaan seperti ini, bukannya mempermudah urusan orang, malah menyulitkan orang. Bukannya bikin adem suasana, malah bikin suasana tambah panas”. Nah kan, ada lagi yang marahin itu petugas. Huahaha, mang enak, mas… dimarahin sama ibu-ibu.

Pukul 19.30, lokasi bus yang saya naikin sudah berada di sekitar perempatan yang ke Jl. Biak. Tinggal dikit lagi naik jembatan Roxy, sampe di halte Sumber Waras. Pastilah bentar lagi, banyak yang akan turun. Saya sih pasti ngikutlah, sampe halte Grogol. Turun di Sumber Waras, bakalan jadi nggak waras saya. Secara tinggal dikit lagi udah sampe halte interchange Grogol kan? Pas udah ngelewatin perempatan Jl. Biak itu, Alhamdulillah diberikan kelancaran itu jalan. Walaupun bergerak perlahan, tapi ya masih jalan. Pintu tengah bus mulai ditutup kembali setelah kondisi bus berjalan pelan.

Turun jembatan Roxy, berarti halte Sumber Waras tinggal deket aja. Mas petugas, mengeluarkan pengumuman,  “Mohon maaf kepada seluruh penumpang, perjalanan bus ini hanya sampai di halte Sumber Waras dan Grogol karena AC bus mati. Bagi yang akan melanjutkan perjalanan, silahkan turun di halte Sumber Waras atau halte Grogol. Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan ini dan mohon maaf jika ada salah ucap atau kata”. Iyh, hebat ini mas’nya minta maaf atas kesalahan yang telah dia perbuat tadi. Well, I do appreciate it so much, mas bro. Saya maafkeun… E tapi ya, ada ibu-ibu yang tadi ngomel itu, bilang gini lagi, “Besok jangan diulangin lagi mas. Kalo udah situasi panas, jangan ikutan panas donk. Harusnya ngademin, bukan panas juga” Hihihi, tetep yah, ibu-ibu. Ngomel nomor satu. Wahid lah, pokoknya.

Pukul 19.45, pas sampe di halte Sumber Waras, banyak yang turun donk. Alhamdulillah, semakin lega. Sekitar 90% penumpang turun di halte ini. Saya tetap lanjut sampai halte Grogol. Lancar banget dari halte Sumber Waras, Cuma 3 menit untuk sampe di halte Grogol.

Alhamdulillah, akhirnya menapakkan jejak juga di interchange Grogol. Mau lanjut ke koridor Grogol – Pinang Ranti. Cool banget, dari pkl 18.10 – 19.45 (1,5 jam) untuk menempuh jalur Jl. Hasyim Ashari sampe ke Grogol yang berjarak 2,7km (berdasar jarak peta di Google earth). Eh ya ampun ya Allah, segitunya macet ya? Jakarta oh Jakarta. Tapi lega bener deh, udah sampe interchange Grogol. Karena biasanya kalo dari interchange Grogol, mau ke Slipi itu udah jarang banget yang macet menggila. Edyaaan itu sih, 1,5 jam hanya dapet 2,7km. Lebih cepet jalan kaki kaya’nya. Tapi kaki gempor pastinya. E tapi macet sih kan ya, kalo pake kendaraan? Eh nggak tau deh, bingung!

Naaah, kelar juga cerita derita di transJakarta pada akhir bulan Januari 2013 kemaren ini. Perjalanan waktu 90 menit dengan jarak 2,7km tapi bisa ngabisin sampe lebih dari 10,550 kata. Terlalu banyak cerita derita. Ya, tapi kesimpulannya sih nggak banyak kok. Cuma 1 kalimat saja cukup, yaitu “Pelayanan transjakarta begitu kok mau diandelin dan dibanggakan sih? Mana tahaaannn…” Selamat Menikmati Pelayanan TransJakarta ya...

4 comments:

  1. Dari cerita loe, gw aja dah kapok.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wetseih... Kan disuruh pake transJakarta gitu. Kan katanya biar nggak macet gitu. Kan gitu bukan?

      Delete
    2. untung kantor udah pindah ke selatan.

      *ngebayangin masa2 naek transjak*

      Delete
    3. Mas Irfani...,

      Hahaha.. Alhamdulillah ya mas, kalo sudah nggak pake. Eh kok malah alhamdulillah sih? Eh tapi emang bener kan? Pelayanannya nggak banget deh... :(

      Makasih ya, udah mampir di blog Mona...
      Itu namanya kok mirip nama suami saya... hihihih

      Delete

KURIKULUM SD KINI... JAHARA DEH...

Buat ibu-ibu yang selalu mendampingi anak-anaknya belajar, pasti paham banget kalau materi pelajaran sekarang ini berat sekali. Ehm, apa ja...

Popular Post