Peta route koridor busway (pic taken from here) |
Okey, saatnya berceloteh tentang pelayanan
publik bidang transportasi yang namanya transJakarta. Udah pada tau kan, kalo
transportasi publik (massal mungkin iya, tapi nggak rapid) di Jakarta itu adalah transportasi yang dibanggakan sama pak
Gubernur Jakarta? Warganya dihimbau sekali banget untuk menggunakan
tranportasi itu, daripada pakai kendaraan pribadi yang notabene bikin macet.
Tapi, kali ini beneran saya nggak mau cerita mengenai konsep transJakarta itu
seperti apa. Postingan ini
bener-bener cuma mau cerita bagaimana pengalaman saya pakai jasa transportasi
publik yang dibanggakan DKI 1 dan beberapa orang lainnya.
Let’s go to the point…
Kamis, tanggal terakhir di bulan Januari 2013,
saya pulang menggunakan bus transJakarta. Naik dari halte Pecenongan, halte
terdekat dari kantor saya, mampir di interchange
Harmoni serta Grogol dan tujuan akhir Slipi.
Nah, kalau masalah koridor berapa ke berapa, saya nggak ngerti. Yang pasti
pokoknya tujuannya begitu.
Alhamdulillah, antrian tiket di loket Pecenongan
sama sekali tidak ada. Sampai halte, langsung beli tiket di loket. Tiket yang
saya beli, masih tiket manual. Kenapa nggak pakai e-ticket kaya’ yang baru
diluncurkan sama pak Jokowi? Nggak penting menurut saya. Secara nggak ada
untungnya. Lha, pelayanan tiket transJakarta udah bagus kok. Nggak pernah
ngantri. Jadi buat apa pakai e-ticket?
Setelah membeli tiket, masuk gate, akhirnya nunggu bus transJakarta
di halte yang sisi Jl. Veteran. Nggak lama, bus transJakarta yang jurusan ke
Harmoni datang. Naiklah saya. Waktu menunjukkan pukul 17.50 ketika saya naik
bus menuju interchange Harmoni. Bus
yang mengangkut saya ini berakhir di interchange
Harmoni, mau tidak mau saya harus turun untuk ganti bus yang menuju Kalideres.
Kira-kira 5 menit dari halte Pecenongan, saya
sudah sampai di interchange Harmoni.
Turun, langsung menuju ke antrian koridor Harmoni – Kalideres yang berada di
ujung utara interchange. Panjang juga
antriannya, sekitar 30 baris. Setiap baris ada sekitar 3 orang penumpang. Di
antrian koridor lainnya, tidak kalah penuhnya dengan antrian saya ini. Namun
yang agak panjang dan tidak bergerak itu antrian koridor Harmoni – Lebak Bulus.
Di interchange Harmoni itu, tampak hilir mudik orang-orang. Malah, ada beberapa
yang sampai berlari-lari mengejar apa entah.
Selama mengantri bus yang akan mengangkut saya
ke arah Interchange Grogol, saya
sibuk dengan gadget saya. Headset pastinya nggak lepas dari
kuping. Sambil denger radio, sambil liat timeline
twitter atau kadang instagram, dan nggak luput juga dari memerhatikan situasi
halte Harmoni, pokoknya sabar menanti di tengah ramai orang dengan udara yang
panas (padahal di situ keliatan ada beberapa kipas angin, tapi satupun nggak
ada yang muter itu baling-baling kipas angin – pajangan atau koleksi ya?) .
Untungnya, antrian ini berjalan agak cepat. Tiap 5 menit, maju untuk melepas
sekitar 10 baris tadi. Sampai pada akhirnya, saya berada di depan pintu halte
itu sekitar pukul 18.10. Lumayan, antri sekitar 15 menit di interchange sih masih bisa diajak
kompromi.
Ketika bus datang, saya masuk dan menuju ke
area khusus wanita di bagian depan. Tidak dapat tempat duduk karena memang
ramai sekali penumpang. Ya maklum saja, jam pulang kantor pasti ramai. Lagipun,
Harmoni – Grogol tak seberapa jauhnya (hanya melewati 1 halte ; Sumber Waras). Gadget dalam genggaman saya setidaknya
akan setia menghibur saya selama perjalanan, walau dengan kondisi berdiri dan
sedikit berdesakan dengan penumpang lainnya.
Ketika bus mulai berjalan dari interchange Harmoni menuju Jl. Hasyim
Ashari, saya sudah siapkan mental untuk menerima kenyataan pahit, yaitu macet.
Maklum yah, ini ruas busway tidak steril. Banyak mobil pribadi yang masuk jalur
busway, tapi nggak ditilang sama pihak berwajib. Belum lagi perempatan ke Jl.
Sangaji, Jl. Cideng, dan Jl. Biak, macetnya nggak nahan (selalu ngunci deh itu
perempatan). Dan bener aja kan, baru masuk Jl. Hasyim Ashari, langsung berhenti
total. Macet. Okeylah, tidak apa-apa, memang sudah begitu adanya, mau apa lagi?
Bersyukur donk, masih punya gadget yang
setia nemenin perjalanan. Mudah-mudahan aja baterainya kuat dan tidak habis
selama perjalanan.
Waktu menunjukkan pukul 18.30, masih belum
sampai di pusat kemacetan pertama, perempatan Jl. Sangaji yang tandanya baru
jalan sekitar 100 meter dari mulai masuk Jl. Hasyim Ashari. Belum selesai hati
ini tersakiti karena macet, kenyataan pahit kedua datang dengan tidak sopannya
menghantam penumpang transJakarta. AC bus yang saya naikin, mulai panas. Nah
loh, bener aja, ternyata AC bus mati! Ya Allah, mau jadi apa ini penumpang di
dalam bus? Penumpang udahlah penuh, jalanan macet tidak bergerak, AC bus mati
pula? Hastaaagaaah… Aseli deh, keringet saya mulai ngucur dan saya pun mulai
kegerahan. Ada penumpang perempuan yang kebetulan bawa kipas, dirinya berkipas
dan bersyukur saya kebagian anginnya, walaupun tetap terasa pengap.
Petugas transJakarta yang selalu berada di
dekat pintu bus, menginformasikan kepada kami, bahwa AC bus mati dan perjalanan
bus akan berakhir sampai di halte Sumber Waras. Beberapa penumpang ada yang
mulai mengeluh, karena pun mau sampai ke
halte Sumber Waras bisa sampai 1 jam sendiri mengingat macetnya seperti itu.
Petugas tampak tidak menggubris keluhan penumpang. Yang saya perhatikan,
petugas sibuk menelfon (entah kemana?) dan memberikan informasi kepada lawan
bicaranya disana, bahwa bus yang dirinya naiki sedang mengalami gangguan teknis
AC. Sedikit yang saya ingat pembicaraannya adalah; “Ini bus gw ACnya mati.
Penumpang gimana mau evakuasi, orang macet begini? Tapi mau evakuasi juga halte
Sumber Waras masih jauh, macet juga”
Pukul 18.45, bus dengan nomor armada TB 113 beneran
mulai pengap, karena sumuk sekali di dalam bus itu. Ya gimana nggak sumuk,
penumpang bus penuh, tanpa dapat udara segar? Berebut udara bersih kami yang
berada di dalam. Saya sempat meminta untuk membuka pintu bus yang di bagian
tengah, agar kita mendapat udara segar. Namun permintaan saya tidak digubris
oleh petugas. Beneran deh, udah mulai emosi saya dengan situasi yang begini.
Petugas apa nggak ngerti ya, kalo kondisi tertutup rapat gitu jadinya sumuk?
Yailah, mas… situ mau mati lemas kah? Ya nggak usah ngajak-ngajak saya kalo
gitu sih, mati ya mati aja sendiri. Tapi
syukurlah, akhirnya pintu bagian tengah yang disebelah kanan, dibuka juga sama
pak supir. Lumayan, dapet udara segar. Kalo ada mobil lewat, malah angin
sepoi-sepoi masuk. Aman…
Pukul 19.10, lokasi bus sudah sampai di sekitar
perempatan Jl. Cideng. Pintu darurat bus bagian depan dibuka oleh pak supir.
Sekitar 4-5 penumpang di bagian depan turun untuk pindah ke bus belakang (atau
mungkin ganti moda transportasi?). Apakah itu bagian dari evakuasi penumpang?
Nggak jelas sama sekali. Nggak ada pengumuman apa-apa dari petugas dan supir
bus. Saya sendiri memilih untuk bertahan di bus itu dengan pertimbangan pintu
bus bagian tengah dibuka. Memang tidak sedingin memakai AC, tapi lumayan banget
setidaknya nggak sumuk. Eh tapi ya, abis itu pintunya ditutup lagi loh. Yahilah
bang, et dah baaaang (X_X). Panas bang, gerah, sumuk!!!
Petugas mulai sibuk lagi telfon dengan entah
siapa. Kali ini terdengar dari pembicarannya bikin saya nyolot banget. Gimana
nggak mau marah, kalo terdengar pembicaraan seperti ini, “Iya, penumpang pada
nggak mau dievakuasi. Pintu depan udah gw buka, penumpang pada nggak mau
pindah. Ya udah, ini pintu tengah gw tutup aja lagi” Hehhh???!!! Kapan dia
umumin sama penumpang kalo pintu depan dibuka dan bisa pindah ke bus belakang?
Buseeet, nyolot abis! Nggak pake aiueo, saya langsung ngemeng, “Mas, kapan
diumumin ke penumpang kalo pintu depan dibuka dan penumpang boleh pindah?
Diumumin juga nggak! Gimana penumpang mau tau kalo pintu depan dibuka????!!!”
Iysh, beneran nyolot deh. Dan akhirnya pintu depan diminta dibuka kembali sama
petugas ke pak supir. Langsung petugas ngomong, “Bagi penumpang yang mau pindah
ke bus belakang, silahkan turun melalui pintu depan”. Langsung setelah
pengumuman itu keluar, sekitar 15 penumpang bergegas turun, pindah ke bus
lainnya. Lumayaaan, makin longgar deh bus ini. Setidaknya makin sedikit rebutan
udara bersihnya.
Lanjut lagi dengan kemacetan, kesumukan, tapi
masih bersyukur nggak mati gaya dengan adanya gadget saya yang bisa facebook-an, twitter-an, instagram-an,
whatsapp-an, dan dengerin musik…
Eh tapi ya, sekitar 5 menit setelah pintu depan
itu ditutup kembali, ada seorang ibu-ibu paruh baya yang meminta kembali kepada
petugas untuk membukakan pintu di depan, karena dirinya baru saja berubah
pikiran. Si ibu menyampaikan kepada petugas agar dapat membukakan pintu di
depan karena ternyata harus tiba di tempat tujuan secepat mungkin dan tidak
mungkin kalau ngarep nungguin jalanan ini. “Saya mau ganti ojek aja, mas. Saya
nggak punya waktu lama”, begitu ujar si ibu kepada petugas transJakarta. Namun
permintaan si ibu dimentahkan oleh petugas dengan alasan, “Saya nggak bisa
menurunkan penumpang kalau nggak di halte, bu”. Eh ya ampyun deh, bwaaang. Ini
kan keadaannya begini. Sekali lagi ya, udah jalanan macet, AC bus mati pula.
Orang kan punya kepentingan juga kali bang… Si ibu kemudian berbicara agak
keras, “Mas saya nggak main-main ya. Saya serius. Saya harus ganti ke ojek.
Saya ngejar waktu”. Setelah si ibu maksa begitu, si petugas jawab dengan
lantangnya, “Makanya, kalo jam segini jangan naek busway. Ini koridor Roxy.
Macet banget, crowded selalu. Nggak
usah pake busway kalo jam-jam segini” Jdeeeeeng!!!
Kaget bener saya denger si
mas ngomong begitu.
Ikut termakan kesel sama ucapan si mas,
akhirnya saya pun ikutan berkoar. “Eh mas, tau nggak kalo moda transportasi
transJakarta ini adalah moda transportasi yang diandalkan sama pemerintah
daerah Jakarta. Tau nggak, kalo masyarakat diminta untuk pake transJakarta dan
diminta untuk meninggalkan kendaraan pribadi? Tau nggak, mas? Kok sekarang si
mas malah ngomong gitu? Itu kan tandanya si mas nggak ndukung program
pemerintah!” Si mas hanya bisa terdiam dan terdiam. Aseli saya kesel banget
sama ucapannya itu. Nggak sepatutnya dia sebagai petugas transJakarta ngomong
begitu donk… Itu kan kontradiksi banget.
Setelah itu, akhirnya si ibu diperbolehkan
turun melalui pintu depan. Itu pun setelah petugas menyerahkan keputusan untuk
membuka pintu depan kepada pak supir. Ish, capek deh mas, ya gitu aja sampe
ribet banget. Bener kata ibu penumpang yang duduk di depan saya. Katanya, “Mas
ini, udah keadaan seperti ini, bukannya mempermudah urusan orang, malah
menyulitkan orang. Bukannya bikin adem suasana, malah bikin suasana tambah
panas”. Nah kan, ada lagi yang marahin itu petugas. Huahaha, mang enak, mas… dimarahin
sama ibu-ibu.
Pukul 19.30, lokasi bus yang saya naikin sudah
berada di sekitar perempatan yang ke Jl. Biak. Tinggal dikit lagi naik jembatan
Roxy, sampe di halte Sumber Waras. Pastilah bentar lagi, banyak yang akan
turun. Saya sih pasti ngikutlah, sampe halte Grogol. Turun di Sumber Waras,
bakalan jadi nggak waras saya. Secara tinggal dikit lagi udah sampe halte interchange
Grogol kan? Pas udah ngelewatin perempatan Jl. Biak itu, Alhamdulillah diberikan
kelancaran itu jalan. Walaupun bergerak perlahan, tapi ya masih jalan. Pintu
tengah bus mulai ditutup kembali setelah kondisi bus berjalan pelan.
Turun jembatan Roxy, berarti halte Sumber Waras
tinggal deket aja. Mas petugas, mengeluarkan pengumuman, “Mohon maaf kepada seluruh penumpang,
perjalanan bus ini hanya sampai di halte Sumber Waras dan Grogol karena AC bus
mati. Bagi yang akan melanjutkan perjalanan, silahkan turun di halte Sumber
Waras atau halte Grogol. Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan ini dan mohon
maaf jika ada salah ucap atau kata”. Iyh, hebat ini mas’nya minta maaf atas
kesalahan yang telah dia perbuat tadi. Well,
I do appreciate it so much, mas bro. Saya maafkeun… E tapi ya, ada ibu-ibu
yang tadi ngomel itu, bilang gini lagi, “Besok jangan diulangin lagi mas. Kalo
udah situasi panas, jangan ikutan panas donk. Harusnya ngademin, bukan panas
juga” Hihihi, tetep yah, ibu-ibu. Ngomel nomor satu. Wahid lah, pokoknya.
Pukul 19.45, pas sampe di halte Sumber Waras, banyak
yang turun donk. Alhamdulillah, semakin lega. Sekitar 90% penumpang turun di
halte ini. Saya tetap lanjut sampai halte Grogol. Lancar banget dari halte
Sumber Waras, Cuma 3 menit untuk sampe di halte Grogol.
Alhamdulillah, akhirnya menapakkan jejak juga
di interchange Grogol. Mau lanjut ke
koridor Grogol – Pinang Ranti. Cool banget, dari pkl 18.10 – 19.45 (1,5 jam)
untuk menempuh jalur Jl. Hasyim Ashari sampe ke Grogol yang berjarak 2,7km
(berdasar jarak peta di Google earth). Eh ya ampun ya Allah, segitunya macet
ya? Jakarta oh Jakarta. Tapi lega bener deh, udah sampe interchange Grogol. Karena biasanya kalo dari interchange Grogol, mau ke Slipi itu udah jarang banget yang macet
menggila. Edyaaan itu sih, 1,5 jam hanya dapet 2,7km. Lebih cepet jalan kaki kaya’nya.
Tapi kaki gempor pastinya. E tapi macet sih kan ya, kalo pake kendaraan? Eh
nggak tau deh, bingung!
Naaah, kelar juga cerita derita di transJakarta
pada akhir bulan Januari 2013 kemaren ini. Perjalanan waktu 90 menit dengan
jarak 2,7km tapi bisa ngabisin sampe lebih dari 10,550 kata. Terlalu banyak
cerita derita. Ya, tapi kesimpulannya sih nggak banyak kok. Cuma 1 kalimat saja
cukup, yaitu “Pelayanan transjakarta begitu kok mau diandelin dan dibanggakan
sih? Mana tahaaannn…” Selamat Menikmati Pelayanan TransJakarta ya...
Dari cerita loe, gw aja dah kapok.
ReplyDeleteWetseih... Kan disuruh pake transJakarta gitu. Kan katanya biar nggak macet gitu. Kan gitu bukan?
Deleteuntung kantor udah pindah ke selatan.
Delete*ngebayangin masa2 naek transjak*
Mas Irfani...,
DeleteHahaha.. Alhamdulillah ya mas, kalo sudah nggak pake. Eh kok malah alhamdulillah sih? Eh tapi emang bener kan? Pelayanannya nggak banget deh... :(
Makasih ya, udah mampir di blog Mona...
Itu namanya kok mirip nama suami saya... hihihih