Postingan kali ini agak beda ya... Sekali-kali ngepost yang nggak berhubungan sama perjalanan dan pengalaman, tapi bener-bener mau curhat. Caileeeee, curhat ceritanya. Disini pula. Kece dah, curhat di blog udah macam yang iye-iye aja curhat di blog. E tapi ya, namapun sharing, apapun boleh lah dibagi kan? Kali-kali aja dengan berbagi, bisa menginspirasikan yang lain. Syukur alhamdulillah kalau hal positif. Kalau hal negatif ya jangan ditiru, cukup dijadikan contoh aja. Contoh yang jangan ditiru. Hahahahahaaa...
Oke, first of all, resolusi pertama saya di tahun 2015 adalah mengurangi kemacetan di Jakarta. Semua orang seantero dunia udah pada tahu kalau Jakarta itu kota yang macet gila. Pengalaman saya, pernah jarak 2,5 kilometer harus ditempuh dalam waktu 1 jam. Iya satu jam menggunakan mobil, kendaraan roda empat. Coba aja, satu jam perjalanan cuma dapet 2,5 kilometer. Pastinya kan lebih cepat kalau kita jalan kaki (kecepatan orang berjalan kaki adalah 5km/jam kalau saya baca di berbagai sumber). Pakai sepeda? Mungkin bisa lebih cepat. Pakai motor, kendaraan roda dua? Bisa lebih cepat bisa, tapi mungkin juga masih terjebak dengan kemacetan. Andai saja jarak rumah saya ke kantor hanya 2,5km, saya pasti memilih berjalan kaki untuk pulang pergi ke kantor. Tapi jarak rumah saya ke kantor, 7,5 km, mau dibantai jalan kaki ya pasti gempor.
Macet di Jakarta udah semakin menggila belakangan ini. Jujur saja, saya sudah tidak tahan. Belakangan hari ketika masih ngantor, 30 menit sebelum pulang, saya pasti merasakan sakit perut. Sakit perut mules karena salah makan kah? Bukan. Ini sakit perut karena stress. Stress membayangkan pulang kerja harus berjibaku dengan jalanan Jakarta yang sangat tidak bersahabat. Ya motor, ya mobil, ya angkot, ya bus, ya semuanya. Akh, semrawut semuanya. Jalanan sangat padat, bottle neck dimana-mana, semua pada berebut jalur. Harus tahan-tahanan adu gas di tengah kemacetan. Skill nyupir menengah, nyali kurang, pasti disabet terus sama orang lain. Ini jalan atau hutan rimba ya? Aturan ada tapi nggak pernah ditaati. Traffic light Jatibaru, jalan arah saya pulang dari kantor, seperti menjadi sebuah furniture di jalan. Cuma buat pajangan. Merah, bisa jadi jalan. Hijau, bisa jadi berhenti.
Persoalan semakin runyam ketika musim hujan. Hujan lebat turun, Yang sudah macet, semakin macet parah maksimal. Udahlah macet karena volume kendaraan yang sangat padat, tambah lagi genangan air dimana-mana. Banjir? Bukan! Ini hanya genangan air, kata mereka (pejabat). Entahlah, sekarang saya tidak bisa membedakan antara genangan air dan banjir. Mungkin sekarang ada klasifikasi dan persepsi khusus antara genangan air dan banjir. Mobil yang saya pakai juga sedan, bukan mobil yang bersahabat untuk menerjang banjir (eh genangan air) yang tingginya mungkin hanya 20cm. Kalo udah ada genangan air itu, yang ada saya makin stress. Bukan nggak berani, tapi lebih sayang sama mobil. Nekat menerjang banjir bakalan lebih banyak ruginya ketimbang enggak ruginya (kalo untung pasti sama sekali nggak ada).
Hujan... Weekend... Jadilah... |
Kelar. Kelar di jalanan itu adalah ketika weekend, hujan dan sore. Aseli, hidup di jalanan bakalan kelar lah kita. Macetnya jangan ditanya. Semua orang pada mau pulang, semuanya di waktu yang bersamaan. Volume kendaraan padat sekali, di satu waktu dan volume jalan tidak mendukung, tambah lagi supir-supir mobil dan motor yang bringas. Selesai sudah. Siap-siap bawa makanan buat di dalam mobil, siap-siap pipis dulu sebelum jalan, dan bagi laki-laki silahkan siapkan botol di mobil untuk bisa pipis. Perempuan seperti saya apa nasibnya? Ya, tahanlah kalau nggak ada pom bensin. Seburuk-buruknya, mampirlah di minimarket dan numpang pipis. Long weekend hujan? Selamat menikmati kawan, jalanan di Jakarta tampak seperti hantu buat saya. Rasanya lebih baik "ngetem" dulu di rumah makan, atau mungkin di kantor biar nggak terjebak macet parah di jalan.
Sudah... sudah... rasanya sudah sangat cukup buat saya berjibaku di jalanan setiap pagi dan sore yang berbarengan dengan mereka pengendara. Muak, itu kata ayng tepat buat saya. Saya mengundurkan diri. Saya hands up. Saya give up. Saya kalah. Iya... saya melambaikan bendera putih dan tangan akan saya lambaikan ke kamera. Tanda saya menyerah terhadap beringasnya jalanan ibukota Indonesia. Hidup saya tua jalan. Huhuuu, padahal rumah saya ke kantor cuma 7,5 km saja. Apa kabarnya ya, yang perjalanan rumah ke kantor sekitar 20 km? Berangkat pukul 05.00 dan bisa pulang lagi ke rumah pukul 21.00? Hanya beberapa jam saja di rumah? Itu tinggal di rumah apa numpang nginep?
Buat saya sendiri... sudah nggak worth-it untuk nyetir di jalanan sampai sebegitu lama-nya untuk jarak yang sebegitu dekatnya. Iya, 7,5 km sebenernya jika tidak macet bisa saya tempuh dalam waktu 20 menit saja. Sangat manusiawi buat saya. Ya, mentok 30 menit lah... tapi kalau sudah lebih dari itu, buat saya sudah sangat menyita waktu. Bukan apa-apa, saya punya anak yang harus saya urus. Saya punya keluarga yang menanti saya di rumah. Saya punya badan yang harus diistirahatkan juga. Saya juga manusia yang punya keterbatasan. Hidup saya ini pastilah sangat singkat. Buat saya, anak-anak saya adalah kepentingan nomor satu dan bahkan diatas nomor satu. Jadi, jika waktu di jalan saya habiskan lebih banyak ketimbang waktu untuk anak-anak, bagi saya, itu sangatlah merugikan buat saya. Saya lebih senang menghabiskan waktu untuk anak saya, melihat mereka di rumah, walaupun memang terkadang ricuh di rumah.
Selesai. Berhenti kerja kantoran yang waktunya sangat menyita. Apalagi yang harus ke kantor ikut arus kemacetan lalu lintas. Naik ojek sebagai salah satu solusinya? Iya dari segi waktu. Tapi dari segi biaya, justru lebih tinggi. Belum lagi kalau hujan, badan basah kuyup. Paham sekali dengan kondisi badan ini, yang tidak terlalu kuat sama terpaan hujan. Naek bus reguler atau bus transjakarta? Iya emang nggak capek nyupir. Tapi capek antri dan berdiri di bus. Akh sudahlah, buat saya, ini yang terbaik. berhenti kerja kantoran. Resolusi mengurangi kemacetan di tahun 2015 saya telah terwujud. No more complain about traffic jam. Enough is enough for me...
Family - Numero Uno (walaupun fotonya pake 2 jari - eh 4 jari) |
Terima kasih telah membaca isi hati saya...
Waktu sangat berharga buat saya..., hidup sangatlah singkat, berikan kepada orang tercinta...
(dedicated to my loveliest husband... yang mungkin sudah bosan dengar keluhan saya tentang macetnya Jakarta ini selama 5 tahun - hadiah pernikahan ke 5 buat kita ya pak).
No comments:
Post a Comment