Saatnya menulis kembali (back to blogging). Yakinlah, selama saya ada jadwal kelas, pasti blog ini agak sedikit terbengkalai. Bukan faktor kesengajaan, tapi memang saya tidak mampu membagi waktu. Kerja di kantor, kerja di rumah sebagai istri dan ibu, kerja rumahan alias jadi si mbak, dan kerjain anak mahasiswa. Wkwkwk, yang terakhir itu beneran ngasal. Jangan diambil serius ya.... Tapi kali ini bener menyempatkan diri untuk nge-blog. Pengen menulis tentang sebuah buku bacaan yang mana penulisnya sendiri yang langsung ngasih ke saya bukunya.
Ceritanya sih...
Ada mahasiswa yang nge-add di aplikasi Whatsapp di telepon genggam saya (jaman gini, mungkin istilah telepon genggam sudah nggak ada. Yang ada juga namanya android, aiphone, bebe, tebs. Apapun itu namanya, pokoknya yang penting bisa buat ngobrol dan tidak lupa kirim foto serta gambar). Saya terima saja ajakan dirinya. Ternyata benar, dirinya ingin menanyakan tugas kuliah yang saya kasih. Setelah pertanyaan kuliah selesai, ujung-ujungnya curcol kalau ternyata tugas yang saya berikan itu kebih berat daripada harus menulis sebuah novel. Eahaaay, lebay banget deh tuh anak. Jelas-jelas bikin novel lebih susah, karena harus menerawang jauh entah kemana-mana. Asli, ngebaca bonvel aja udah cukup berat buat saya, apalagi harus bukin novel. Bisa-bisa saya bukannya nulis, tapi malah nangis.
Dengan dirinya cerita begitu, yang bilang bikin novel lebih mudah dibanding bikin tugas, akhirnya saya tanya donk, apa jangan-jangan dia penulis? Ternyata jawabannya iya. Pantasaaan.... ya iya donk, kalo sudah hobby itu biasanya memang lebih gampang ngerjainnya ketimbang yang nggak hobby. Intinya sih, segala sesuatu yang kita senangin itu akan terasa lebih ringan dikerjakan, karena kita happy waktu ngerjainnya. Sama seperti ketika saya menulis ini. So happy kalau saya nge-blog. Walaupun rasanya udah jarang banget (karena paling juga sebulan sekali posting-nya), tapi saya masih semangat untuk menulis, karena saya memang "ember" aka cerewet, jadi selalu senang menulis.
Sebuah buku karangan mahasiswa tadi akhirnya saya terima dengan baik ketika kelas pertemuan. Sesampainya saya di kelas, taruh tas dan peralatan lenong ngajar, dan buku itu pun mendarat di meja saya. "Ini ya bu, bukunya", katanya. Waah, alhamdulillah dapet buku. Sip banget deh, bisa dapet buku dari penulisnya langsung. Buku yang masih dibungkus plastik, saya buka pelan-pelan sambil ngobrol dengan Syafei sang penulis, bagaimana proses penerbitan buku. Yah, walaupun pernah mendesign resume seminar waktu di kampus, tapi belum penah nulis buku sebener-benernya. Hehehe... beneran amatir lah pokoknya.
Pembicaraan tentang buku selesai seketika karena saya harus mengajar....
Buku yang sudah saya terima dari penulis, saya bawa pulang, Tapi di hari itu belum sempat saya baca, mengingat hari itu adalah hari Minggu. Hari Minggu, waktunya main sama Nares. Jadi sudahlah simpan buku itu untuk dibaca lain waktu saja. Maaf ya ciyn, bukannya nggak menghargai penulis, tapi saya benar-benar harus membagi waktu untuk anak saya. Senin sampai Jumat sudahlah saya bekerja di luar rumah. Saatnya Minggu bersama Nares. Pasti deh, buat ibu-ibu yang lain, yang kerjanya diluar rumah, weekend itu waktu buat keluarga. Setujuuuh?
Senin pagi, saya bawa buku Between Love and Friendship karangan Pi'i. Berani bawa buku bacaan soalnya saya ke kantor pakai kendaraan umum, bebas mau baca. Malah enakan bawa bacaan, bisa ngisi waktu kosong di jalanan. Itulah kelebihannya kalo pergi pakai kendaraan umum. Masih bisa teleponan, smsan, baca, atau yang lainnya. Ya kalo nyupir sendiri sih pastinya nggak akan sempat dan nggak bisa kan? Kalo pun dianter sama pak suami, disupirin, tetep saja tak enak dirikuh sibuk sendiri. Dikata suaminya supir kali ye, dicuekin sepanjang jalan kenangan? Maksudnyaaah?
Buku itu pelan-pelan saya baca. Ya pelan-pelan itu maksudnya ya, pas ada kesempatan baca, ya saya baca. Misalnya, pas lagi nunggu di shelter transJakarta, saya baca. Pas lagi di bus pas bisa baca, ya saya baca. Pokoknya kalo ada kesempatan baca, ya pasti saya baca. Mengambil setting tempat cerita di kota Pontianak, dimana kota yang bukan asing bagi saya (mamak saya dari Kalimantan Barat juga, walaupun bukan di Pontianak), jadi saya membacanya agak ringan (#ngaruh nggak sih?). Sudah kenal lokasi, jadi setidaknya dapat membayangkan bagaimana situasinya. Semakin semangat lah saya membaca. Apalagi jadi teringat sama sepupu saya yang tinggal di Pontianak. Weih... #kangen
Menceritakan tentang persahabatan 4 (2 perempuan dan 2 laki-laki) muda mudi yang kemudian diantara mereka ternyata ada yang menyimpan rasa cinta atau suka atau sayang. Sayangnya, cinta memang tidak selalu harus memiliki. Diantara mereka ada yang tidak kesampaian cerita cintanya. Yah... sudah biasa lah itu sih. Semua kan memang bisa berencana, tapi Allah punya kuasa untuk menentukannya. Tidak setiap impian dan harapan menjadi kenyataan. Tidak semua keinginan bisa diwujudkan. Hiks hiks, ini kok jadi kaya' curhat di mari sih....
Buku ini jalan ceritanya mudah dicerna (bukan makanan sih), penulisan sederhana dengan gaya bahasa yang sederhana juga. Kata-kata sehari-hari banyak keluar di dalam tulisan ini. Buat saya sih menarik, karena saya agak kerepotan untuk membaca tulisan dengan gaya bahasa yang formil. Novel-novel kelas berat, sperti karangan mba Dee, atau mba Fira, pasti bukan level saya untuk mencernanya. Rasanya, hidup sudah berat, kok ya harus mbaca yang berat lagi sih? Ya memang nggak ada yang mengharuskan sih.... Makanya, membaca buku ini dengan gaya bahasa yang ringan, saya masih menerimanya. Alhamdulillah, jadi nggak sia-sia kan ya, penulis ngasih bukunya ke saya. Saya bisa membacanya. Jujur, baca novel itu dalam hidup saya bisa dihitung jumlahnya. Nggak terlalu suka fiksi emang pada dasarnya.
Kesempurnaan hanya milik Allah. Hihihi, tampaknya berlaku juga buku ini. Tidak sempurna memang, karena bukan hasilnya yang penting, tapi prosesnya. Bener lho, proses bikin novel itu pasti berat dan tidak mudah. Nah, sayang beneran, buku ini menurut saya penulisan bahasanya kurang beradaptasi dengan wilayah lokal Pontianak yang lebih menggunakan bahasa Melayu. Kosa kata bahasa Melayu masih belum banyak dipakai. Padahal di Pontianak itu bahasa dan logat Melayu sangat menonjol. Khas sekali logat Melayu disana. Namun sayang sekali, bahasa dengan gaya Melayu kurang di-ekspos di penulisan buku ini. Buat pembaca pemula, buku ini sih cocok banget deh. Ceritanya ringan, bacanya mudah dicerna, dan mudah untuk dibayangin abstrak-nya. Hihihi, sotoy banget saya kasih comment.
Overall, satu yang bisa diambil pelajaran dari penulisan buku ini, adalah prosesnya. Prosesnya itu yang patut diapresiasi. Cerita bisa dinilai dengan tingkat kerelativitasannya, tapi proses untuk menjadi sebuah buku, itu yang patut diacungi jempol.
Ini kalau mau liat bukunya di link : pijar publishing...