11.22.2011

CERITA MEDIS (baca : MENYEDIHKAN)

Yang namanya orang hidup, nggak lepas dari masalah kesehatan. Manusia kan juga terdiri dari beberapa perangkat tubuh yang bisa sesekali rusak dan mungkin harus diperbaiki. Manusia sama kaya mesin mobil, yang diciptakan untuk bekerja, tapi bisa juga punya masa pakai. Nggak bisa seumur hidup, lah! Mesin mobil bisa rusak, kan? Mesin potong rumput, juga bisa rusak. Semua mesin pasti bisa rusak. Kalo ada mesin di dunia ini yang tidak rusak, mungkin satu-satunya ya cuma mesin waktu si Doreamon! Kenapa mesin waktu si Doraemon nggak bisa rusak? Ya iyalah, orang itu si Doraemon hanya kisah fiktif kok! #eh ini kok mau cerita dokter jadi ke doraemon segala sih?

mesin waktu punya Doraemon
Baiklah, yuks mareh lanjooot...

Sooo, kalo kita (manusia) sakit, pengen sembuh, pergi ke dokter kan? Secara mereka yang belajar secara detail tentang ilmu pertubuhan manusia. Mereka yang tau pasti, apa penyakitnya, kenapa sakitnya, dan harus diapain biar sembuh! Iya nggak? Makanya, ada dokter umum dan dokter spesialis. Makanya juga ada Rumah Sakit. Buat yang sakit dan pengen sembuh (atau setidaknya kondisi fisik membaik), seharusnya pergi ke dokter atau Rumah Sakit.

Apa yang dilakukan saya, suami saya, ibu saya, dan bapak saya juga demikian. Ketika kita semua sakit, dan ada rasa ingin sembuh (karena sudah beberapa hari sakitnya tak kunjung hilang dan keadaan pun belum membaik), maka kami pergi ke dokter untuk berkonsultasi. Ujung-ujungnya ya karena kami mau sembuh dari penyakit tersebut dan ingin hidup sehat. Berharap dengan bertemu oleh ahli tubuh, kondisi badan ini semakin membaik.

Namun, apa yang saya dapatkan pengalaman ke dokter di Jakarta ini sepertinya agak berbeda. Entah salah saya yang bodoh, atau memang dokter yang pintar. Beberapa kali kejadian, kok diagnosa dokter di Indonesia sepertinya mengambang dan bahkan cenderung tidak mengetahuinya. Ya Allah, saya ini hanya orang awam yang bodoh, yang sama sekali tak mengerti dengan ilmu tubuh. Kalaupun dokter yang kami kunjungi ini sudah tidak dapat dipercaya lagi, kepada siapa kami harus berkonsultasi lagi? Wong sudah ke ahlinya, tak masih gak bener. Sooo, saya kudu kemana? Bingung saya *garuk-garuk kepala sambil nguap.

Okey, saya mau curhat! Mau curhat kenapa saya agak underestimate dengan dokter di Indonesia. Bukan tanpa sebab saya underestimate seperti ini. Bukan tanpa alasan saya kecewa dengan dokter di Indonesia yang telah saya kunjungi ini. Mungkin kalo sekali kejadiannya, saya masih maklum. Tapi ini udah berulang kali kejadiannya. Rasanya kali ini bener-bener sudah tak percaya.


Cerita 1 – Ibu diduga sakit jantung dan harus operasi jantung.

Kejadiannya mungkin sekitar 6 tahun lalu. Pada saat itu, ibu mengeluhkan bahwa kalau dirinya susah untuk bernafas. Sesak, begitu katanya. Setelah beberapa saat ibu saya mengeluhkan penyakitnya, akhirnya bapak membawa ibu berobat ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita (RS terbesar dan pusatnya Jantung di Indonesia). Konsultasi dengan dokter berakhir dengan rekomendasi bahwa ibu harus dioperasi agar nafasnya tidak sesak. Detail penyakit apa yang diderita ibu, saya sudah lupa. Tapi intinya, ibu direkomendasikan untuk dioperasi.

Seketika pulang dari RS, bapak berbincang dengan keluarga di rumah, dengan abang saya dan saya sendiri tentunya. Hal ini berkaitan dengan tindakan yang harus dijalani untuk kesehatan ibu. Pada saat itu, kami mengatur waktu untuk ditindak diminggu depannya. Karena untuk operasi, kita butuh persiapan, baik mental dan fisik. Mulai dari ancang-ancang piket untuk nemenin ibu di RS dan lain sebagainya. Rencana operasi pun akan dilakukan sesegera mungkin. Tugas bapak, adalah menyiapkan dananya. Hihihi, walaupun ibu pemegang kartu Askes, tapi sepertinya tidak semua biaya tindakan dapat ditanggung pihak Askes. Yah, tak apalah, masih bagus ditanggung Askes beberapa bagian. Daripada tidak sama sekali?

Setelah persiapan matang, dan kami pun sudah siap-siap, tiba-tiba si bapak membatalkan rencana tindakan operasi si Ibu. Kata Bapak, Ibu akan diperiksa di Singapore dulu. Ternyata sambil menunggu hari operasi, si bapak cerita ke temennya kalo Ibu akan dioperasi. Temen bapak bilang, coba bawa ke Singapore untuk di cross check. Mungkin bisa dapat second opinion yang hasilnya tidak perlu operasi. Sip lah, langsung bapak arrange jadwal ke Singapore. Untuk dokter spesialis jantung yang dituju juga sudah didapat (dari temen bapak tadi). Toh kalaupun memang harus operasi, ya mau tak mau memang harus dilakukan.

Sepulangnya dari Singapore, alhamdulillah... Bapak dan Ibu bawa kabar baik. Menurut dokter spesialis jantung di Singapore, ibu nggak perlu operasi. Nafas ibu suka sesak karena ibu terlalu gemuk alias overweight! Oh my... Alhamdulillah, senangnya ibu nggak perlu operasi. Tapi sebagai gantinya, ibu harus mengurangi berat badan, setidaknya 3kg perbulan.

Hmmm, rasanya pengen balik ke dokter jantung yang di Jakarta degh. Mau nanya, “Dok, ini kok Ibu saya bisa ya, nggak perlu operasi? Cuma suruh nurunin berat badan?” Tapi akh ya sudahlah. Mungkin rasa itu sudah tertutup dengan rasa bahagia saya bahwa Ibu nggak perlu operasi jantung. Kebayang kan, kalo jantung udah diobok-obok, berarti udah ada yang nggak utuh degh.


Cerita 2 – Bapak tersumbat pembuluh darahnya, tapi nggak ketauan apa penyebabnya.

Maret 2009, tiba-tiba betis sebelah kiri bapak bengkak. Keras. Dipegang sakit sekali, sampai bapak nggak bisa jalan. Untuk pertolongan pertama, kita panggil dokter umum yang praktek di komplek rumah. Tapi begitu beliau melihat kondisi bapak, beliau langsung merujuk ke RS. RS yang terdekat dari rumah kami adalah RS Medika Permata Hijau. Malam itu juga langsung di bawa ke RS. Karena malam hari tidak ada dokter spesialis, bapak akhirnya ditangani dokter jaga di UGD. Semalam bapak menginap di RS MPH, karena begitu besok paginya dokter spesialis penyakit dalam berkunjung, beliau langsung merujuk bapak ke RS yang lebih besar. Pilihannya adalah RS Pusat Pertamina dan RS Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Of course we decide the second one. Secara bapak punya Askes dan pensiunan tentara juga, akhirnya kita setuju untuk bapak dirujuk ke RSPAD. Langsung meluncur dengan ambulans, begitu administrasi dan segala urusan di RS MPH selesai.

Sampe di RSPAD bapak singgah dulu di UGD. Yah, maklum lah, RS pemerintah dan bapak saya pensiunan pulak. Makanya pelayanan juga berada di third line. Bukan lagi second line, tapi udah third! Nggak heran makanya, pas si dokter nyuruh saya nebus obat pain killer untuk bapak di farmasi Askes, saya disuruh nunggu sekitar 3 jam. Gosh! Itu bapak udah sakit meringis, masih disuruh nunggu? 3 jam? Hell banget dah nih Askes! Belum kali ya, dia ngerasain kalo kerabatnya yang sakit dan diperlakukan begitu, apa rasanya? Akhirnya kuputuskan untuk tebus obat pain killer di apotik swasta. Mahal! Tak apa, yang penting bapak nggak ngerasa sakit.

Setelah observasi kamar, akhirnya diputuskan kembali, untuk tidak menggunakan pelayanan Askes. Why? It’s because itu kamar yang jatahnya Bapak, nggak banget! Kamar kecil, pintu toilet bergagang tali rapia, jamur di dinding. Iyh, bagus aja bukan saya yang liat, tapi ibu dan abang saya yang observasi kamar. Sementara waktu itu saya nungguin bapak. Secara di RSPAD juga ada RS swasta-nya (Paviliun Dharmawan), makanya bapak masuk di situ aja. Oia, disini yang namanya Askes nggak laku! Kata orang administrasinya, “Kalau mau pake Askes ya di RSPAD. Kalau di Paviliun Dharmawan, ya nggak Askes!” Yah sudahlah, nggak pake Askes! Daripada malah makin sakit di kamar busuk, mending keluar uang sedikit biar cepet sembuh. Insyaallah ada kok rejekinya buat bapak berobat. Kita emang nggak kaya raya, tapi untuk sehat, insyaallah diusahakan.

Setelah dirujuk ke dokter jantung dan observasi 3 hari lamanya, bapak ternyata mengalami penyumbatan pembuluh darah. Cuma karena kondisinya udah agak parah, mau nggak mau bapak harus dioperasi itu betisnya yang bengkak, untuk ngeluarin darah yang nggak muter tadi. Tadinya si pak dokter sudah mengusahakan untuk mengencerkan darah dengan obat suntikan, tapi kayanya nggak mempan. Makanya bapak harus dioperasi untuk mengeluarkan darah yang sudah mengental di betisnya. Setelah operasi selesai, betis bapak kembali ke ukuran semula. Kempes memang. Tapi jadinya agak keriput dan hitam. Keriput mungkin karena tadinya bengkak, dan sekarang kempes. Nah kalo hitam itu nggak tau kenapa (lupa pas dijelasin dokter).

Saatnya bapak diijinkan pulang oleh dokter. Tapi sayangnya penyebab pembuluh darah yang menyempit itu nggak ketahuan sama pak dokter (notes: dokternya ganteng lho, tinggi besar! Tentara gituuu). Soalnya, pak dokter bilang, biasanya kejadian ini menimpa sama orang yang suka refleksi, massage (pijat), terkilir, angkat beban berat. Tapi dari kegiatan yang disebutin sama pak dokter, bapak nggak semuanya melakukan. So, penyebab is undetected!

Beberapa bulan ke depan, bapak berangkat ke Singapore (kembali), untuk nemenin ibu yang harus rutin control ke dokter Phillip di Mount Elizabeth Hospital. Untuk kali ini, rencananya bapak pun mau sekalian periksa mengenai penyakit bapak. Walaupun sudah lewat, tapi tak ada salahnya untuk mengetahui apa penyebabnya (secara di Jakarta kan nggak ketauan penyebabnya apa). Dokter untuk bapak pun di rekomendasi dari dokter jantung ibu. Okey, di sana bapak disuruh ambil cairan tulang sumsumnya. Dan besokan harinya, barulah ketahuan, kenapa pembuluh darah bapak bisa tersumbat. Lega rasanya teka teki selama ini yang belum terjawab. Dalam waktu yang singkat dan proses yang tidak bertele-tele, akhirnya penyebabnya ketahuan juga.

Hmmm, kenapa ya, dokter di Jakarta nggak bisa nemuin penyebabnya? Duh, kok lagi-lagi dikecewakan ya, sama pelayanan medis di Jakarta. Rasanya mau teriak degh! Tapi kok ya teriak juga nggak ngaruh, secara konsumen pasti di nomor belakangin. Cuma bisa nerima...


Cerita 3 – Suamiku yang berulang kali sakit paru

Lagi-lagi nggak puas sama pelayanan medis (baca: dokter) di Jakarta. Kali ini kejadian menimpa suami saya sendiri. Berulang kali dirinya tertimpa sakit paru. Batuk darah. Sudah diobatin, tapi sakit lagi. Diobatin lagi, sakit lagi. Apa yang salah siyh, sebenernya? Padahal ya, suami saya itu type orang yang sangat disiplin. Tidak lalai minum obat, melakukan pola hidup orang sehat, dan selalu menjauhi pantangan dari dokter. Tapi kenapa siyh ya, kok bisa kejadian lagi? Belum setahun sembuh, tapi terjadi lagi dan lagi. Dan dokter yang kami kunjungi pun rasanya sudah tidak salah, karena kami berobat ke RS Paru terbesar di Indonesia yang berada di daerah Rawamangun, RS Umum Persahabatan.

Sungguh, saya merasa berada di bawah, rasanya udah sedih melulu! Kejadian ini menimpa saya ketika kami baru nikah. Dan saat itu saya lagi hamil. Rasanya dunia mau runtuh! Orang yang saya sayangi harus jatuh sakit. Tempat saya berbagi, tempat saya bersandar, tempat segalanya buat saya, dan masa depan saya, sakit! Saya yakin, siapapun yang tertimpa kondisi seperti saya, bisa menangis. Saya pun menangis sih, cuma ya nggak ketauan aja kan? Heheee...

Namun walau bagaimana juga, life must goes on. Hidup harus berjalan dan dihadapin. Bismillah sajalah. Sementara itu, pengobatan untuk suami harus tetap berjalan. Apapun yang dianjurkan dokter, kita laksanakan. Sambil berharap terus ke Allah untuk segalanya yang terbaik.

Hingga di satu saat, saya dan suami merencakan untuk cross check ke dokter spesialis paru di Singapore. Yaaa, memang sih, ide ini berangkat dari pengalaman bapak dan ibu saya yang berobat di Jakarta, tapi ada yang kurang. Bismillah, kita berangkat ke Singapore, dengan sebelumnya cari tau dokter yang cocok dengan penyakit yang di derita suami. Dapatlah kami dokternya melalui situs Respiratory Spesialist. Kami baca semua dokter yang ada disitu dan tertujulah ke satu dokter cantik mungil.  Dari Jakarta, kita sudah email-email dengan beliau. Beliau menanyakan sejarah penyakit, obat apa yang pernah dikasih, bagaimana hasil darah, dan sebagainya. Hingga pada tanggal yang ditentukan, kami berangkat ke Singapore.

Sesampainya disana, suami saya diperiksa, hasil lab dibaca, hasil x-ray pun dibaca, dan semua jenis obat pun dianalisa. Dari analisa dokter, akhirnya diketahui karena sebelumnya dokter di Jakarta pernah kurang memberikan dosis obat dan ada satu obat yang seharusnya tak perlu diberikan kepada suami saya! Mungkin karena itu, si kuman nggak mati dan malah jadinya kebal sama obat. Hadooooh Tuhaaan, mengapa oh mengapa ini terjadi? Bagaimana bisa dosis bisa kurang? Bagaimana bisa obat yang seharusnya gak diberikan tapi malah diberikan? Mau marah, tapi udah nggak sanggup marah. Akhirnya saya hanya bisa memendam kekecewaan. Percuma juga mau dilawan itu dokter di Jakarta. Mau nuntut? Bakalan wasting time, wasting energy! Trust me, it doesn’t work!  

Tapi dokter di Singapore cukup menguatkan hati ini, dia bilang “I won’t argue with the past one. Let’s see to the next step”. Yang sudah ya sudah lah ya, mendingan kita pikirin yang sekarang dan ke depan. Hmmm... *take a deep breath


Pemirsaaaah...

Saya yakin, kejadian ini nggak hanya menimpa terhadap bapak, ibu dan suami saya. Mungkin ini hanya sebagian kecil cerita yang bisa diangkat. Masih bersyukur, Tuhan kasih jalan kepada keluarga kami untuk melakukan cross check kondisi kesehatan di negeri seberang. Tapi apa nasib bagi warga yang tidak punya kesempatan untuk pergi keluar Indonesia? Apalagi nasib warga yang pake Jaminan Kesehatan rakyat miskin? Nggak kebayang ya, sob. Mungkin kalo saya sakit dan harus berurusan sama pelayanan kesehatan di Indonesia, bisa jadi langsung naek darah. Nggak tahan, nggak sanggup. Makanya, pinta saya kepada Allah, supaya selalu diberikan kesehatan kepada keluarga saya. Supaya kami tidak perlu berurusan dengan tenaga medis serta pelayan kesehatan di Indonesia ini.

Ngga heran juga, kalo di Singapore penuh dengan orang Indonesia yang berobat. Yakin saya, karena mereka semua nggak puas dengan pelayanan kesehatan di Indonesia.

kuciwa berat
*take a deep breath for many times...  and hoping so much that all of the readers here are never get sick.


3 comments:

  1. Apakah disingapura, konsultasinya full dengan inggris. Atau dokternya mengerti bahasa melayu juga

    ReplyDelete
  2. Apakah disingapura, konsultasinya full dengan inggris. Atau dokternya mengerti bahasa melayu juga

    ReplyDelete
  3. Sore,bu.Saya tertarik dengan kasus suami ibu.Apakah suami ibu terkeba yang namanya broncho pneumonia? Lalu dokter di singapur nyaranin pengobatan apa, bu?

    ReplyDelete

KURIKULUM SD KINI... JAHARA DEH...

Buat ibu-ibu yang selalu mendampingi anak-anaknya belajar, pasti paham banget kalau materi pelajaran sekarang ini berat sekali. Ehm, apa ja...

Popular Post